Kamis, 01 Agustus 2013

MUDIK MANIS PENGANTIN BARU




Ada rutinitas baru sejak aku menikah, yaitu mudik lebaran. Mudik pertama dan sangat menggugat perasaan adalah lebaran tahun 1998. Waktu itu kami menggunakan jasa angkutan kereta api. Sejujurnya aku enggan, namun aku tak mampu menolak keinginan suami yang ingin pulang ke rumahnya di Purworejo, apalagi saat itu kami masih pengantin baru.
Kami menggunakan kereta malam dari stasiun Kiaracondong Bandung, namun  meskipun kami berangkat tepat di hari lebaran, ternyata penumpang kereta masih penuh, benar-benar meleset dari perkiraan.
Pada saat itu karcis kereta tidak dibubuhi nomor tempat duduk alias bebas disebabkan sesaknya penumpang, dan hal itu biasa terjadi di waktu-waktu tertentu, misalnya saat lebaran atau liburan kenaikan kelas. Bisa dibayangkan bagaimana hiruk-pikuknya orang-orang yang akan masuk ke dalam kereta, ada yang dorong-dorong ke depan, ada yang sikut kanan, sikut kiri, pokoknya semua berusaha mendapatkan  tempat duduk. Kegaduhan itu sudah terjadi sejak masih di pintu gerbong. Alhasil aku yang belum pernah pengalaman jadi bulan-bulanan orang-orang di sekitarku, aku malah bengong menyaksikan kehebohan orang-orang itu. Sedangkan suamiku yang sudah terbiasa menghadapi hal itu kalem saja.
Bisa ditebak, kami tidak kebagian tempat duduk malam itu,  sampai kereta melaju dan beberapa kali berhenti di stasiun-stasiun dari yang besar sampai yang kecil, kami tetap tegar berdiri. Kondisi itu sukses membuat kakiku mati rasa karena sudah tidak merasakan apa-apa, masih beruntung malam itu aku bisa berdiri berdekatan dengan suamiku hingga jika sudah tidak tahan aku bisa menyandarkan tubuh ke badannya.
Aku sangat bersyukur ketika ada satu penumpang turun saat tiba di Kebumen. Walaupun dari Kebumen tinggal satu stasiun lagi sebelum tiba di stasiun tujuan, namun aku gembira ada tempat duduk untukku. Saat itu baru aku merasakan betapa nikmatnya sebuah kata duduk.  Beberapa menit setelah duduk, kakiku yang kebas terasa kesemutan.
---
Aku gentar saat harus kembali ke Bandung. Terbayang keruwetan yang bakal kami alami, pasalnya kami kembali naik kereta ekonomi, dan  di waktu tujuh hari setelah lebaran, ditambah kami menggunakan kereta pagi. Inginnya pergi setelah aura mudik lebaran berlalu, namun apa daya, suamiku sudah harus dinas sedangkan aku juga sudah harus kuliah lagi.
Benar saja, lautan orang lebih banyak dari saat keberangkatan kami kemarin. Dari sejak di peron aku sudah mulai didorong-dorong, kebetulan posisi suami di depan, jadi dia tidak tahu kondisi yang kualami. Karena takut didorong lagi, aku lalu meminta di depan saat masuk kereta.
Begitu kereta tiba, seluruh penumpang merangsek ke arahnya. Betapa sulitnya menaiki tangga kereta dalam kondisi hampir terjepit seperti itu, untunglah suamiku tinggi besar hingga mampu mengangkat tubuhku hingga sampai ke gerbong kereta. Saat sudah di dalam aku terkejut karena tiba-tiba orang-orang di belakangku berebutan melewatiku, hingga otomatis tubuhku terdorong-dorong, bahkan beberapa kali kepalaku kena sikut, Di mana suamiku? Bukankah dia tadi ada di belakangku? Setelah mataku mencari-cari, akhirnya aku menemukan dia sedang berdiri di dekat pintu, tangannya melambai-lambai ke arahku, sedangkan aku di sebelah kamar mandi. Belakangan aku tahu kalau suamiku enggan berdesakan dengan ibu-ibu dan remaja-remaja putri yang tiba-tiba menyerobot di belakangku hingga akhirnya jarakku dan dia agak jauh. Akhirnya aku berdiri selama delapan jam tanpa bisa menyender kemanapun, tak disangka di siang hari mukaku nyaris mengenai bokong seorang bocah yang sedang digendong bapaknya karena pup. Aduh, itu betul-betul sesuatu, si bapak juga tidak merasa kalau baru saja membuat perutku mual. Parahnya kereta sempat mogok saat di Rancaekek. Lengkaplah penderitaanku rasanya. Kutengok suamiku masih juga berdiri di sana. Terbetik juga keinginan akan turun di Rancaekek  saja kemudian disambung angkot atau bis, namun aku sulit berkomunikasi dengan suami karen dulu belum zaman hape seperti sekarang. Mau mendekati suamiku juga sulit karena padatnya penumpang.
Namun momen manis itu kami dapatkan juga saat kereta tiba di Kiaracondong. Rasanya nikmat sekali bisa melangkahkan kaki setelah dipasung selama berjam-jam di dalam kereta. Langit sudah gelap dan suamiku yang menuntunku berkali-kali minta maaf. Yah, minta maaf karena memaksaku mudik, hingga pada akhirnya itu adalah mudik yang pertama dan terakhir menggunakan kereta api. Syukurlah sekarang ada peraturan baru yang membuat penumpang kereta api lebih tertib. Mudah-mudahan di tahun mendatang kami bisa mudik lagi pakai kereta api.