Jumat, 06 Februari 2015

First Love yang Mengejutkan




Kalau membicarakan tentang first love, aku selalu merasa geli sendiri, soalnya saat itu aku masih kelas 4 SD, usia yang terbilang masih unyu banget kalau dibandingkan teman-teman sebayaku waktu itu. Pada saat itu sepertinya belum ada anak-anak seusiaku yang tertarik melirik lawan jenis, tidak seperti sekarang yang anak SD saja sudah kenal pacaran. Jaman aku dulu, seusiaku masih asik main masak-masakan, bermain peran, main bekel, main conglak dan permainan perempuan lainnya, sedangkan anak laki-lakinya masih senang main layangan, main kelereng, dan lain-lain. Antara anak laki-laki dan anak perempuan masih sering berantem, sama sekali tidak ada ketertarikan antara satu sama lain.
Di saat kakak dan adikku masih senang main, aku main sekedarnya saja. Entah kenapa sejak kecil aku tidak pernah keranjingan main, aku ikut main hanya beberapa menit saja, selanjutnya aku lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca. Bukan hanya majalah dan novel anak-anak, tapi majalah wanita dan novel-novel orang tuaku ikut kulahap jika bahan bacaan anak-anak sudah habis. Novel setebal Para Priyayi-nya Umar Kayam saja habis kubaca dalam waktu beberapa hari saja, apalagi novel Jalan Tak Ada Ujung-nya Mochtar Lubis yang tidak sampai sehari sudah selesai kubaca. Sampai-sampai aku pernah keranjingan baca novel, meskipun saat di pasar buku bekas aku lebih memburu novel-novel Enid Bylton.  Mungkin hal itulah yang menyebabkan aku sedikit banyak sudah mengerti soal dunia orang dewasa, termasuk hubungan lawan jenis.
Yang lucunya, first loveku itu kukagumi dalam kondisi yang bisa dibilang nggak banget deh, bayangkan saja aku melihatnya pertama kali saat dia berada di atas kerbaunya dengan hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada, saat itu kami sedang berkunjung ke rumah Simbah di Purworejo. Dan si penggembala kerbau itu adalah tetangga budeku. Entah mengapa aku senang saja memperhatikan anak laki-laki di atas kerbau itu, diriku bilang kalau anak itu keren banget.
Alhasil meski malu-malu, aku tongkrongin juga anak itu setiap sore. Dengan menenteng buku, aku duduk manis di teras rumah bude, berharap si dia kembali dengan kerbaunya yang kinclong. Sepertinya anak itu akan memandikan kerbaunya karena perginya ke arah sungai. Saat bayangannya muncul dari kejauhan, deg-degannya bukan main, sambil pura-pura baca, aku terus mengawasinya. Aih kalau ingat, akukan masih SD, diapun sama, hanya saja sudah kelas 6. Kalau kerbaunya sudah dikandangkan dan masuk rumah, baru deh aku pelan-pelan ke rumahnya, mengetuk warungnya pura-pura mau beli es. Ibunya memang buka warung dan menjual beraneka ragam jajanan anak-anak. Sambil beli es, aku berharap bisa melihatnya lagi, namun harapan itu tak pernah terwujud karena anaknya pemalu.
Akhirnya perkenalan dengan cinta pertamaku tak pernah terjadi, meskipun berkali-kali aku ikut ibu pulang kampung ke rumah simbah, namun aku tak pernah menjumpainya. Rasa kecewa ada, namun sudah tersapu-sapu dengan banyak peristiwa lain.
Bahkan sampai berbelas tahun kemudian bahkan aku sudah melupakannya, apalagi sejak simbah putriku meninggal di kala aku kelas satu SMA, aku tak pernah lagi ikut ibu pulang kampung. Tak ada cinta lain yang mengiringi sampai ada seseorang  yang mengajakku kenalan via surat. Dia menemukan tulisanku yang dimuat di majalah remaja.  Tahun 90-an belum jamannya hape dan media sosial. Maka berkorespondenlah kami sampai kurang lebih 3 bulanan. Meski hanya melihat wajahnya melalui foto, rasanya sudah senang sekali, bahkan deg-degan setiap kali mau membuka suratnya.
Tanggak 3 Agustus 1997 di saat rumahku akan mengadakan arisan keluarga, tiba-tiba teman korespondenku ini datang berkunjung tanpa konfirmasi sebelumnya. Datang jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung hanya karena penasaran ingin kopdar dengan sahabat penanya.  Saat baru tiba dia terkejut karena merasa sudah familiar dengan wajah bapakku. Saat melihat ibu, kakak dan adik-adikku, dia semakin yakin kalau aku bukanlah orang asing. Dia merasa mengenali wajah-wajah kami. Namun sat giliran bertemu denganku, dia malah baru pertama kali itu melihatku. Setelah berbincang agak lama, barulah ketahuan kalau ternyata dia adalah tetangga budeku, anak pemilik warung yang setiap sore menggembala kerbau dan memandikannya.  Saat satu persatu anggota arisan yang notabene masih keluarga berdatangan, semakin jelaslah bahwa sahabat penaku ini bukan orang lain. Ya Tuhan, dunia begitu kecil.
first loveku inilah yang jadi suamiku

Tiga bulan kemudian, sahabat pena yang ternyata first loveku itu melamarku,  bak kisah sinetron, beliau akhirnya jadi suamiku  Dan kini kami sudah menjalani pernikahan selama 18 tahun tanpa kendala berarti.
Artikel ini diikut sertakan dalam "My First Love Giveaway" Aprint Story 
 

10 komentar:

  1. Waah..ga nyangka ya mbak, anak yang suka duduk diatas kerbau itu jadi pasangan hidup. Dunia memang selebar daun kelor...:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget mbak. Banyak kejutan-kejutan hidup yang seringkali nggak terbayangkan sebelumnya. Makasih udah mampir.

      Hapus
  2. Ya ampuuunnn mmakkk, bisa gt ya...nggak nyangka ya....keren wessss :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mak emang bener-bener bikin geger waktu itu. Kirain orang jauh gak tahunya...

      Hapus
  3. Hihihi memang jodoh Ga kemana ya 😀
    Salam kenal mak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mak dan tak terduga. Salam kenal juga Mak

      Hapus
  4. Waw... amazing... kyk sinetron :)

    BalasHapus
  5. Wah....surprise banget ya bida berjodoh dgn first love-nya... Kayak cerita sinetron.. Smga langgeng sampai kakek nenek ya...

    BalasHapus