Minggu, 31 Mei 2015

Disiplin Membuat Hidup Lebih Sehat

Menjaga kesehatan bagi anggota TNI seperti suamiku mutlak perlu. Olahraga dan menjaga pola makan sudah dilakukannya sejak remaja, dan semakin disiplin setelah menjadi anggota TNI. Sebagai istri, mau tidak mau aku harus patuh pada pola makan dan disiplin hidupnya.
Dimulai dengan bangun jam 3 pagi, lewat jam segitu maka ‘huru-hara’ yang terjadi, karena kami terbiasa salat malam dan suamiku siap-siap berangkat dinas jam 4 pagi. Syukurnya kami hampir tidak pernah bangun terlambat, alarm selalu on walaupun pada kenyataannya kami lebih dulu bangun daripada lengkingan alarmnya. Banyak aktifitas yang bisa kita lakukan di pagi seperti itu, kita tidak terburu-buru dalam menyiapkan rutinitas. Hal itu mau tidak mau membawa pengaruh pada pikiran hingga jadi tenang, ketenangan membuat kita fokus dan akhirnya kita bisa menyambut pagi dengan senyum semangat.
Sebelum mulai salat malam, kami terbiasa minum air putih yang tidak hangat namun tidak pula dingin, alias bersuhu ruang. Dan sebelum berangkat, suamiku mampu menghabiskan segelas besar (350 ml)  jus tanpa gula. Buahnya sederhana dan murah, seperti apel, pepaya, tomat, alpuket atau pir.  Setiap hari ganti-gantian saja di antara kelimanya, kalau sedang beruntung maka bisa ditambah strawberry, jeruk atau semangka. Minum jus lumayan mengganjal  perutnya hingga ada energi untuk beraktifitas. Sedangkan perutku masih harus adaptasi minum jus di pagi buta seperti itu.
Tiba di kantor, suamiku akan berenang atau lari terlebih dulu. Salah satu dari kedua olahraga itu rutin dilakukannya. Setelah itu dia baru sarapan yang berat seperti nasi, sayur dan lauk-pauknya. Sebagai catatan suamiku tidak terbiasa makan nasi dengan lauk protein hewani seperti ayam, daging, telur atau ikan, dia lebih milih makan nasi dengan protein nabati seperti tempe atau tahu. Sayuran hijau wajib karena membuatnya jadi berselera menyantap makanan. Kalau sedang ingin makan ayam, ikan atau telur maka dia akan memakannya bareng sayur seperti pecel, cah kangkung atau reuceuh sayur. Kebetulan pula suamiku tidak suka daging sapi. Sedangkan aku sendiri biasanya bersepeda sambil ke tukang sayur ataupun jalan-jalan ringan sambil mendorong kereta bayi si kecil dengan tujuan ke tukang sayur. Aktifitas rumah seperti beres-beres rumah, masak dan menyiapkan anak sekolah aku rasa sudah cukup bisa membakar kaloriku.
Di usia 30-an ada yang mengganggu suamiku, yaitu perutnya yang mulai membucit. Kami heran karena disiplinnya pada olahraga dan pola makan sudah luar biasa ketat, menurutku karena aku sendiri masih terbilang ngawur, alias apa saja bisa mampir perut asalkan halal dan rasanya enak, olahragapun aku belum disiplin.
sedang dinas maupun di rumah tetap disiplin olahraga

Mendapati kenyataan pahit seperti itu, suamiku jadi merombak lagi pola makan dan olahraganya. Sekarang bukan hanya dia sendiri yang mengontrol, namun aku juga diajak berperan serta. Salah satu caranya adalah say good bye to goreng-gorengan. Tahu dan tempe sekarang lebih sering kubacem tanpa digoreng, hal ini selain bikin sehat di badan, juga sehat di kantong.

Suamiku juga menambah porsi olahraganya hingga minimal 4 kali seminggu. Hasilnya sudah bisa terlihat hanya dalam waktu sebulan saja. Perutnya sudah rata lagi seperti dulu, lebih sehat dan segar. 
Tulisan ini diikutkan pada lomba blog Nutrifood, #Health Agent Nutrifood

Sabtu, 23 Mei 2015

Hamil Tua 'Dipaksa' Jalan Kaki

Dari enam kehamilan, hanya kehamilan pertamalah yang membuat saya benar-benar jatuh bangun, mungkin karena kehamilan pertama ya, jadi masih belum ada pengalaman dan manjanya masih besar, apalagi waktu itu saya masih ikut orang tua karena kuliah belum selesai.
Empat bulan pertama saya lalui dengan susah payah, segala jenis makanan sulit sekali  berhasil masuk ke mulut, apalagi ke perut, dapur sangat saya hindari, bahkan saya tutup hidung kalau terpaksa pergi ke dapur, tidak ada satupun aroma makanan yang enak di hidung saya, semua bakal membuat perut serasa diaduk-aduk. Syukurlah saat menjalani kegiatan kuliah segala keluhan itu hilang, mungkin karena di kelas tidak ada aroma-aroma makanan dan tidak ada dapur, jadi saya bebas mual dan bebas puyeng.
Pada usia 3 minggu kehamilan, saya harus berangkat KKN ke Desa Sudalarang di Kecamatan Sukawening Garut. Saat penerimaan mahasiswa KKN di kelurahan, disediakan makanan sebagai ungkapan selamat datang. Saat itu sudah 3 hari perut saya tidak terisi nasi sama sekali, hanya susu ibu hamil dan teh manis. Saya sempat tidak jadi ambil piring karena pasti hanya akan mubazir saja, namun teman saya berbisik memaksa saya makan untuk menghormati tuan rumah. Akhirnya dengan berat hati saya mengambil piring, menyendok nasi, sayur asem kacang merah, sambel dan tempe goreng.
Ajaib! Suapan pertama yang saya duga akan saya telan dengan susah payah, ternyata sebaliknya, terus berlanjut sampai suapan terakhir. Saya senang sekali, sujud syukur bisa menghabiskan sepiring nasi setelah tiga hari hanya terisi minuman saja. Saya pikir mungkin karena Desa Sudalarang ini masih kampung hingga suasana alaminya membuat saya mau makan.
Sayang itu tidak berlangsung lama, tiga hari di sana, saya sudah enggan lagi menyentuh makanan, saya juga absen dari tugas masak. Saya bahkan sempat besitegang dengan rekan KKN yang laki-laki karena dia membawa sekardus mie instan ke rumah kami menginap. Sejak hamil saya memang benci sekali dengan mie instan, jangankan memakannya, melihat bungkusnya saja membuat saya mual. Saya menyuruh mereka membawa ke rumah khusus mahasiswa putra saja, namun mereka enggan karena dapur ada di rumah mahasiswi.  Akhirnya karena alasan saya dianggap tidak masuk akal, maka kardus berisi mie instan itu tetap berada di rumah yang kami tempati. Melihat kardus mie instan teronggok di tempat yang sering saya lewati tentu saja mengganggu, sampai akhirnya kardus itu saya tutupi dengan handuk karena saya tidak sanggup melihatnya. Kalau mereka akan masak mie instan, mereka akan memberitahu supaya saya bisa kabur dulu untuk sementara.
Dua minggu di Garut, teman-teman mengijinkan saya pulang sebentar untuk periksa kandungan, mereka juga khawatir dengan keadaan saya yang tidak pernah makan sama sekali, hanya minum susu, teh dan vitamin. Mereka heran karena saya masih bisa bangun padahal tidak makan, saking cemasnya setiap ada makanan apa saja di warung seperti gorengan, roti bahkan rujak pasti dibawakannya untuk saya. Secuil dua cuil makanan itu memang bisa mampir ke perut saya, itu sudah cukup melegakan.
Setelah menempuh perjalanan 2 jam lebih, saya sampai ke rumah, saat itu baru terasa kalau saya kelaparan betul hingga saya langsung makan.Saya dibuat heran lagi karena bisa menghabiskan sepiring nasi, persis seperti saat saya baru tiba di Garut. Ibu saya senang sekali dengan perkembangan itu, ibu saya menduga kalau saya sudah bisa melewati fase morning sickness meski kandungan masih 5 minggu. Ibu saya keliru karena setelah 3 hari di rumah, saya kembali dilanda GTM, saya mogok makan lagi.
Di hari keempat saya kembali ke Garut, saya sudah bisa menduga pasti saya akan bisa makan setelah baru tiba di sana, dan itu memang benar. Sama seperti ibu, teman-teman sayapun mengira saya sudah ‘normal’.
Syukurlah kondisi sulit itu benar-benar hilang saat kehamilan sudah memasuki bulan kelima. Saya tetap aktif kuliah dan mengikuti kegiatan kemahasiswaan, bahkan saya merasa lebih sehat dari sebelumnya.  Bahkan saya masih kuliah walau sudah mendekati HPL. Sudah banyak buku, majalah dan tabloid tentang kehamilan yang saya baca, saya juga sering sharing dengan ibu-ibu yang sudah pengalaman, termasuk ibu saya sendiri dan ibu mertua, jadi saya merasa siap dan tidak khawatir dengan kondisi saya meskipun masih dibawa kuliah, toh kandungan saya sehat.
Namun siapa sangka saya harus mengalami kejadian tak terlupakan di kala hamil besar begitu, yaitu ketika supir angkot demo karena ada kenaikan BBM dan kenaikan setoran. Karena demo, otomatis hari itu merekapun mogok beroperasi. Nah, lalu nasib saya bagaimana? Jarak dari Setiabudi ke Sukamiskin tak kepalang tanggung jauhnya, menempuh perjalanan normal saja bisa makan waktu 1 sampai 2 jam, bagaimana dengan jalan kaki?
Tak ada harapan, tak ada orang di rumah yang bisa dimintai tolong untuk menjemput, akhirnya saya dan beberapa teman jalan kaki. Di sepanjang jalan kami bertemu dengan orang-orang yang jalan kaki juga, maka lama kelamaan kami seperti rombongan gerak jalan sore. Jadilah sore itu saya tetap bahagia meskipun penteyotan jalan kaki dengan perut yang besar. Kalau banyak teman seperti itu kesusahan memang terasa indah saja.
Tiba di Cicaheum kondisinya sama, supir-supir angkot di sana juga demo dan mogok beroperasi, jalanan lengang karena sepi angkot, maka lanjutlah perjalanan saya sampai ke Sukamiskin. Sambil berjalan saya tak henti-hentinya mengelus-elus perut saya yang saya rasa tak menemukan gerakannya, mungkin karena saya jalan kaki, jadi dia nyenyak di dalam sana karena serasa digendong.
Saat tiba di jalan menuju rumah, saya sudah hampir kehabisan nafas, saya harus naik ojek karena meskipun jarak dari jalan Pasir Impun itu ke rumah ibu saya hanya sekitar 600 meter, namun jalanannya menanjak, persis seperti naik gunung. Namun ternyata ojek sedang laris manis, karena tak satupun ojek yang sedang nangkring. Adzan Maghrib sudah berkumandang, memaksa saya untuk melanjutkan langkah kembali. Meski nafas sudah satu dua, akhirnya tiba juga saya ke rumah meski rasanya sudah mau pingsan saja.
Keesokan harinya saya merasa perut kram dan tegang, namun saya tidak bilang pada kedua orang tua saya dan suami. Suami saya menengok seminggu sekali ke Bandung karena tugasnya di Jakarta. Dari yang saya baca, ketegangan itu hal biasa, tidak usah dirisaukan, apalagi setelah beraktivitas seperti yang kulakukan pada hari Jumat kemarin, yaitu jalan kaki dari kampus ke rumah.
Ternyata ketegangan di perut saya berlanjut sampai hari Minggu sekitar jam 11-an malam, yaitu rasa mulas seperti segugut, rasa sakit tatkala mestruasi di hari pertama. Saya tidak mengabarkan hal itu pada siapapun karena saya belum menemukan bercak darah.
Dan akhirnya pada hari Senin sore lahirlah cahaya mata kami itu, dengan sangat lancar dan tidak bertele-tele. Dokter bilang hal itu disebabkan oleh ibu dan bayi yang sehat dan aktivitas ibu selama hamil, ibu dokternya tidak tahu kalau si ibu baru saja jalan kaki berkilo-kilo meter tiga hari sebelumnya.  
setelah lahir tumbuh sehat

sekarang sudah gadis

bisa gantian asuh adik bayi

Sekarang putriku itu sudah gadis, sudah mau masuk SMA dan sudah bisa bantu saya mengasuh adiknya yang sudah 6 bulan sekarang ini.

Kamis, 14 Mei 2015

Resep Coba-coba yang Bikin Greget

Urusan masak memasak bukanlah hal baru bagi saya, dari mulai masakan sampai kue-kue, cemilan tradisional maupun yang modern sudah seringkali saya buat, namun sejak menikah, saya baru menyadari, ternyata saya masih harus banyak belajar. sSaya masih kurang melakukan jelajah rasa pada masakan orang lain.Terbukti lidah suami tidak terbiasa dengan masakan hasil tangan saya, walaupun beliau bilang enak, namun jika hanya dimakan sedikit, itu adalah jawaban bahwa masakan itu belum sesuai dengan lidahnya.
Ah, saya ternyata tak sepandai yang saya kira, banyak ilmu dari ibu saya yang tidak mampu saya lakukan, misalnya rasa masakan yang kurang  ‘nendang’, entah bagaimana, meskipun segala bumbu yang meracik ibu, namun jika tangan saya yang mengulek bumbu itu, nanti hasil masakannya akan berbeda, seperti kurang pas dan nggak ‘kena’ di lidah. Yang pasti saya masih harus banyak belajar karena banyak juga menu masakan ibu mertua saya yang belum bisa pas di lidah suami. Jadinya learning by doing deh, meskipun seringkali diri sendiri yang jadi ‘korban’ atas kegagalan masakan yang dibuat secara coba-coba. Yang pasti senjata harus sama dengan ibuku, yaitu pakai cap Koepoe-koepoe buat masakan atau cemilan, kalau merk lain kurang pede.
Tidak semua resep coba-coba membuat saya jadi 'korban', kerapkali pula acara coba-coba membuahkan hasil yang manis, seperti ceker bumbu ‘hitam’ pesanan suami saya ini. Jadi ceritanya sewaktu dinas suami saya menonton acara masak-masak yang isinya tentang masak ceker, saking kepengennya, pulang dinas beliau langsung borong ceker di tukang ayam langganannya. Jelas saja saya gelagapan ditantang masak ceker dengan syarat bumbu harus hitam, kepikirannya sih pake bumbu rawon atau kluweknya, namun kata suami di resep nggak ada pakai kluwek apalagi bumbu rawon, tapi beliau nggak ingat bumbunya apa saja. Yang jelas hasil cekernya rasa gurih-gurih manis, sedangkan bumbu-bumbu yang ada di rumah kurang lengkap, tapi aku merasa pede karena ada lada cap Koepoe-koepoe yang baru dibeli anak saya seminggu yang lalu  Jadinya dengan nekat saya cemplung-cemplungin deh bumbu yang ada, hasilnya? Sungguh di luar dugaan, suami sangat senang dan surprise dengan rasanya. Katanya resep coba-coba saya kali ini bikin greget, hihihi.
Berikut resep ceker bumbu ‘hitam’ coba-coba buatan saya :
Bahan                   :
1kg ceker                    
Bumbu                 :
10 butir besar bawang merah     
5 butir besar bawang putih       
1 ruas jari kunyit                   
5 butir kemiri                   
2 sendok makan ada hitam           
1 sendok teh lada putih cap Koepoe-koepoe 
1 sendok makan garam atau sesuai selera
1 butir gula merah atau sesuai selera
1 sendok makan fermipan             
5 sendok makan kecap manis        
2 sendok teh Thyme kering      
Cara membuat  :
1.       Ceker dicuci bersih lalu dipotongi kuku-kukunya.
2.       Ceker lalu dicampur gula, garam dan fermipan, diamkan selama kurang lebih 1 jam
3.       Presto selama kurang lebih 1 jam dengan api kecil
4.       Haluskan bawang, merah, bawang putih, thyme, kunyit dan lada hitam
5.       Tumis bumbu halus sampai harum lalu masukkan kecap dan lada putih,
   tuang air sisa presto kurang lebih 100 ml
6.       Masukkan ceker presto, aduk-aduk, angkat setelah air meresap dan agak kering
7.       Ceker bumbu hitam siap disajikan.
penampakan ceker bumbu hitam yang tak terlalu hitam


Sekilo ceker langsung tandas hanya dalam waktu beberapa menit saja, karena walaupun tulangnya tidak berhasil lunak, namun daging cekernya langsung bisa makleb masuk mulut tanpa ada yang nempel sedikitpun di tulang. Tahu rahasianya? Rahasianya adalah karena saya merendamnya dulu pakai fermipan, maksud hati ingin membuat tulangnya lunak tanpa menghancurkan cekernya, eh ternyata sebelum lunak sudah saya matikan prestonya, walau begitu justru ceker yang seperti inilah yang diingini bapaknya anak-anak, beliau bilang malah nggak suka sama ceker yang tulangnya lunak, yo weslah, jadilah resep coba-coba ini jadi andalan menu ceker berikutnya.
Dari jaman saya kecil dulu, ibu saya kalau bikin kue atau es dari mulai ovalet, SP atau TBM, Baking Powder, Soda kue maupun essens dan pewarna makanan nggak pernah pakai merk lain kecuali cap Koepoe-koepoe, sampai-sampai saya mengira hanya cap Koepoe-koepoe saja penyedia berbagai ‘senjata’ masak itu, jadinya sampai sekarang nggak pede kalau nggak pakai cap Koepoe-koepoe. Namun khusus lada putihnya, ada cerita tersendiri. Sebelumnya saya kurang suka memakai lada halus, karena biasanya aromanya tidak sekuat lada yang masih butiran, namun karena waktu itu anak kedua saya yang belanja, tanpa konfirmasi dulu dia langsung saja beli lada putih cap Koepoe-koepoe dengan netto 85 gram itu. Jelas saja saya langsung ngomel, bukan karena harganya yang tergolong mahal hanya untuk sekedar beli lada, yaitu Rp. 30.000, namun karena saya memang kurang sreg sama lada halus, kurang greget gitu pada masakannya. Namun anak saya ternyata punya alasan kuat, yang pertama adalah karena merk-nya sudah biasa dipakai oleh ibu dan eyang putrinya, sedangkan alasan kedua adalah karena waktu dia beli ada hadiah saos sambalnya, hihihi anak dan emak sama ijonya kalau sudah masalah beginian. Yah, marahnya jadi nggak lanjut deh, apalagi waktu dihitung-hitung ternyata beli lada putih yang ini lebih hemat daripada yang sachetan, belum lagi ditambah hadiah saos sambalnya yang lumayan mahal.
Namun untuk menghilangkan penasaran, maka sore itu juga aku mengeksekusi masakan yang sudah pasti menggunakan lada, yaitu sop. Betapa leganya setelah tahu ternyata rasanya sama dengan kalau aku memakai lada butiran. Seneng banget dong pastinya, jadinya bilang makasih deh sama anak saya, jadi nyesel juga kenapa nggak dari dulu pakai lada putih Koepoe-koepoe, kan saya nggak harus susah ngulek-ngulek lada. Ya sudahlah, semua dijadikan pelajaran.
#CurhatanRasa




Senin, 11 Mei 2015

Berbagi Bahagia Atas Pernikahan Ibu Mertua untuk Sahabat Tabloid Nova

Bicara soal kebahagiaan, kalau direnung-renungkan sepertinya terlalu banyak hal membahagiakan yang kutemui hampir setiap hari. Bangun tidur dengan segar tanpa dibangunkan alarm satu jam sebelum Subuh membuatku bahagia, membuatkan sarapan dengan mulus dan enak juga membuatku bahagia. Maksudnya mulus adalah tanpa ada ‘huru-hara’ seperti kehabisan bawang, kecipratan minyak panas atau keasinan. Menyiapkan anak-anak berangkat sekolah dengan mulus juga membuatku bahagia. Mulus di sini adalah tanpa diwarnai susah dibangunkan, pe-er belum dikerjakan, kaos kaki hilang sebelah atau menu sarapan yang tidak cocok. Kalau lancar begitu maka anak-anak pergi sekolah dengan senyum, bukan manyun. Ketemu tukang sayur secara tidak sengaja sepulang mengajar saja bisa membuatku bahagia, apalagi kalau si abang sayur bawa sayuran yang aneh-aneh seperti jantung pisang, daun pakis atau ikan Sidat. Wuih ternyata hal-hal kecil itu bisa membuatku bahagia tanpa disadari, jadi wajar kalau aku ingin juga berbagi kebahagiaan pada semua orang.
Kebahagiaan bersama keluarga  yang sebentar lagi akan kami dapatkan adalah kebahagiaan besar, yang semula membuat diriku sendiri tak percaya, yaitu rencana pernikahan ibu mertuaku. Jika tidak ada halangan, pernikahan akan dilaksanakan tanggal 27 Juni  tahun ini.
Sebelumnya aku tidak pernah menyangka ibu mertua yang sudah menginjak usia 67 sekarang ini berniat nikah lagi. Betul-betul di luar dugaan. Apalagi sejak  bapak meninggal tahun 2009 lalu, ibu bertekad hidupnya akan dihabiskan hanya untuk beribadah saja. Lantas apakah dengan menikah artinya tidak beribadah? Sudah tentu menikah juga ibadah, hanya saja saya pikir ibu akan menghabiskan hari-harinya tanpa didampingi lagi oleh seseorang bernama suami. Meski awalnya sempat khawatir, namun demi melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya, kukubur dalam-dalam rasa cemasku. Kenapa aku khawatir? Aku takut ibu tidak bahagia bersama suami barunya, aku khawatir kalau-kalau suaminya sakit-sakitan, cukup sudah selama 6 tahun ibu mengurus almarhum bapak yang terkapar sakit sampai sempat pakai diapers.
Namun  demi melihat kesungguhan keduanya meski sudah sepuh, tentu suamiku tak keberatan, begitu pula dengan kakaknya dan aku sebagai menantunya.
“Nanti Ibukan bisa nengok kamu ke Bogor berdua , tanpa kamu harus susah-susah jemput ibu,” ujar ibu saat suamiku iseng menanyakan apa yang bisa dilakukannya setelah menikah.
“Ibu juga nggak usah susah-susah lagi nyamar jadi laki-laki,” tambahku yang dijawab dengan derai tawa oleh ibu. Aku tidak akan lupa kisah ibu mertuaku ini saat masa panen tiba. Karena ibu tidak memiliki tempat khusus untuk menjemur gabah, maka ibu menjemurnya di teras rumah yang cukup luas. Namun karena gabah belum kering semua dan akan sangat merepotkan memasukkannya kembali ke karung-karung dengan jumlah yang berkwintal-kwintal, sementara mencari orang untuk membantu sangatlah susah, maka ibu membiarkannya tetap berada di teras, hanya ditutup menggunakan terpal.
Berita tetangga yang mengabarkan bahwa gabahnya dicuri orang, membuat ibu khawatir akan gabahnya sendiri.  Malam setelah mendengar kabar pencurian itu, ibu memutuskan untuk menjaga gabahnya di teras. Karena tidak ingin membuat si maling senang melihat calon korbannya adalah perempuan, maka menyamarlah beliau malam itu. pakaian almarhum bapak dikenakannya, tak lupa kupluk yang hanya menyisakan sepasang matanya untuk mengusir dingin. Dengan nekat, ibu tisur di kursi teras. Benar saja, baru saja ibu terlelap, sebuah motor mendekat, suaranya membuat ibu terjaga. Dipicingkannya matanya dengan seksama, dilihatnya si pembonceng motor sedang menggulung terpal berisi gabah, sang pembawa motor hanya duduk di tempatnya sambil memberi perintah. Lalu dengan keberanian yang menurutku luar biasa, ibu bangkit dan menyalakan senter tepat ke arah wajah si maling. Maling yang ada di atas motor menggertak sambil memelototkan matanya, namun ibu tak gentar, diaacung-acungkannya golok yang sudah disiapkan. Syukurlah mereka langsung kabur. Namun mendengar cerita beliau ini, aku deg-deg plas, bahkan suamiku juga melarang dengan tegas ibunya melakukannya lagi, hanya karena pertolongan Tuhan saja para maling itu kabur, bukankah sudah banyak cerita-cerita mengerikan yang ada dalam berita?
Dari peristiwa itu maka kakak perempuan suamiku menyuruh adiknya pulang untuk menemani ibu. Suamiku bersedia, namun kedinasannya membuatnya sulit untuk pindah meskipun sudah mengajukan. Kami juga kasihan membayangkan ibu harus tinggal seorang diri di rumah seluas itu. Maka rencana ibu mau menikah lagi tentu saja melegakan kami, membahagiakan kami, dan membuat beban suamiku tentang kepindahan tugasnya berkurang, mudah-mudahan ibu diberi kebahagiaan pada pernikahannya ini.
suamiku dan ibunya di depan rumah


Kebahagiaan yang bentuknya terlihat besar ataupun kecil selalu bisa menjadi inspirasi kebahagiaanbahagia bersama sahabat ataupun bahagia bersama keluarga sama-sama membuat senyum kita lebih mengembang, hati kita lebih lapang dan jiwa kita jadi sehat. Yuk, mulai menemukan kebahagiaan-kebhagiaan kecil yang kerapkali kita abaikan, semoga kita bisa lebih banyak bersyukur pada Tuhan.

Selasa, 05 Mei 2015

BANYUWANGI KAMI (AKAN) DATANG

“Mi, liburan besok kita jalan-jalan, ya? Please...” Rajuk sulungku. Aku hanya tersenyum kecut sambil menepuk bahunya..
Siapa sih yang nggak pengen liburan? Apalagi setelah lelah dengan belajar, belajar dan belajar karena mau menghadapi ujian nasional seperti sulungku ini. Tapi apa mau dikata, justru di masa-masa sekarang ini kami harus ekstra konsentrasi memikirkan pendidikan dia selanjutnya, maklum mencari SMA bukanlah persoalan mudah, bukan hanya masalah sekolahnya di mana, namun juga biaya dan segala tetek-bengeknya. Belum selesai memikirkan nilai yang bakal keluar, kami sudah dihadang oleh kualitas sekolah, lingkungan dan semacamnya, misalnya dia bisa diterima di sekolah negeripun belum tentu sesuai dengan target pendidikan saya dan suami. Belum lagi masalah biaya, ini nih yang sebenarnya persoalan utama yang membuat kami seolah tidak bisa beranjak dari keinginan untuk berwisata.
Padahal kalau mau, cita-cita banget tu jalan-jalan ke Banyuwangi. Bukan sekedar jalan-jalan, namun juga menunaikan hajat bapak saya yang teramat sangat ingin membawa anak-anak, mantu-mantu dan cucu-cucunya ke tanah kelahiran beliau secara lengkap.
Sebenarnya sejak anak-anak masih kecil bapak saya sudah mengungkapkan keinginannya, namun selalu saja ada kendala, seperti tugas suami saya, ijin anak-anak dari sekolah ataupun kondisi yang yang hamil, kebayangkan perjalanan ke Banyuwangi itu begitu jauhnya? Biasanya bapak naik kereta api dari stasiun Bandung. Berangkat sore sekitar pukul  5 menggunakan kereta api Mutiara Selatan, turun Surabaya keesokan paginya, lanjut naik kereta api lagi ke Banyuwangi dengan waktu tempuh antara 8 sampai 9 jam. Wow banget untuk kondisi diri saya yang tidak terlalu cekatan ditambah ‘buntut’ yang sudah banyak, ditambah saya mudah sekali terserang migren. Jadi kalau mau bepergian harus dipastikan kondisi betul-betul dalam keadaan fit. Dan yang tak kalah pentingnya adalah masalah biaya. Biaya semakin bengkak tatkala anak kami bertambah, dan jadilah pembatalan demi pembatalan berulangkali terjadi. Sungguh saya tidak mau mengecewakan bapak, namun sayangnya malah itu yang terjadi, berulangkali bapak harus menelan kekecewaan karena saya. Doakan saya Pak, semoga saya bisa menunaikan hajat bapak.
impian saya adalah inpian anak-anak saya juga 
Jadi kalau ditanya impian wisata atau liburan saya di mana, dengan mantap akan saya katakan bahwa saya ingin sekali ke Banyuwangi. Bukan saja memanjangkan tali silaturahim, namun saya dan anak-anak juga akan melihat sebagian kecil dari tanda-tanda kebesaran Allah, seperti Pantai Pulau Merah Banyuwangi, Kawah Ijen Banyuwangi, Teluk Hijau Green Bay, Pulau Tabuhan, Air Terjun Lider Banyuwangi, Watu Dodol Banyuwangi, Pantai Plengkung Banyuwangi dan beberapa tempat lagi di Banyuwangi yang pastinya sangat menawan.
Ingin lihat langsung tanah merah di Pulau Merah seperti apa, ingin menginjakkan kaki di pulau yang bentuknya menyerupai bukit kecil itu. Ingin juga melihat Kawah Ijen, pastinya tempatnya diselimuti asap belerang, ya, tapi saya penasaran dengan adanya danau belerang yang berwarna tosca dan api biru, cantik banget. Yang nggak kalah kepengennya adalah ke Teluk Hijau, ingin merasakan udara segar pantai yang bercampur dengan udara hutan tropis Taman Nasional Meru Betiri, hmmm pasti kesegarannya beda dong dengan udara Bogor. Anak-anak pasti hepi kalau dibawa ke air terjun Lider Banyuwangi secara dari yang kecil sampai yang sudah remaja hobi banget main air. Kebayang juga serunya kalau kami sempat ke Watu Dodol Banyuwangi yang terletak di desa Ketapang. Kata ibuku pemandangan di Watu Dodol sangat indah, kita dapat menyaksikan pemandangan pantai di sepanjang jalan dengan bebukitan yang berada di seberangnya, dari sini kita bahkan dapat melihat Pulau Bali! Seru nggak sih? Sudah kebayang deh kalau kami bisa sampai ke sana, kami akan tadabur alam, kami akan berfikir, merenung, hebatnya Allah yang telah menciptakan semua keindahan itu, semoga hati-hati kami jadi gemetar dibuatnya, semoga kehidupan kami tidak lalai dalam mengingat Allah setelah perjalanan ini.
Yang utama sebenarnya bukan senang-senangnya saja sudah lihat pemandangan kece, asik dan menawan, melainkan  silaturahimnya, kebayang dong di sana ada 8 adik-adik bapak saya plus keluarganya? Mereka sendiri ke Bandung kalau pas ada acara-acara penting seperti saat bapak saya menikahkan anak-anaknya, dan karena jarak antara Banyuwangi dan Bandung itu jauh banget, jadinya tidak semua paklek dan bulek saya itu turut serta, melainkan giliran, so nggak bisa ketemu secara lengkap kecuali kitanya yang berkunjung ke sana, sedangkan saya sendiri terakhir ke Banyuwangi masih kelas 4 SD.
anak-anak yang harus "digendong" suamiku menuju Banyuwangi impian


Tinggal saya seorang dari 4 anak bapak yang belum pernah lagi ke Banyuwangi sejak 27 tahun yang lalu. Bapak sudah kesana membawa anak-anak, mantu-mantu dan cucu-cucu dari kakak dan adik-adik saya, padahal cucu terbanyak adalah dari saya. Semoga saya tidak memupuskan harapan bapak, cita-cita bapak adalah impian saya juga.  Ya Allah wujudkanlah mimpi kami, Banyuwangi, kami akan segera datang, semoga.