Sabtu, 06 Januari 2018

Sahabat yang Hilang

Kaget dan sedih itu kala kontak saya didelcon oleh sahabat saat kuliah. Bukan sekedar sahabat namun sudah lebih dari saudara. Belajar bareng, makan bareng sampai wisuda juga bareng. Bahkan kami menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi.
Sejak awal punya akun media sosial bernama facebook tahun 2009 saya sudah mencari-cari namanya namun tak juga bertemu. Saya membayangkan andaikata kami bertemu tentu persaudaraan yang pernah terjalin akan tersambung kembali dan bahkan saya tak kuasa membayangkan betapa bahagianya jika saya bisa berhasil menemukannya.
Sampai akhirnya sekitar tahun 2011-an akhirnya saya menjumpainya, saya senang tak terkira. Namun ternyata reaksi sahabat saya itu berbeda. Mungkin setelah dia tahu saya ini bukan PNS seperti dirinya, atau mungkin karena saya tidak kaya seperti dirinya, tiba-tiba saja kontak BB saya dihapus. Karena sampai detik ini saya tidak tahu kesalahan saya sama dia apa, jadi saya memang berusaha cari kotaknya karena pesan saya di facebook tak pernah berbalas.
Mungkin dia jengkel saat saya nongol di kontak WA nya secara tiba-tiba, jadi kesannya kayak maksa banget gitu saya masih pengen temenan sama dia. Tapi setiap kali saya kirim WA ke dia cuma dibaca aja. Berkali-kali saya WA dia lagi-lagi hanya dibaca. Pernahkah dia menanyakan kabar saya? Hei siapa elu? Yah, saya sih cuma tahu diri ajalah. Saya juga sudah minta maaf barangkali ada salah saya ke dia yang saya gak sadar, eh gak direspon juga tuh.
Sedih? Bangeeet, saya sampai gak bisa nahan air mata menuliskan ini, lebay yah, mungkin arti persahabatan bagi saya dan dia berbeda. Dia menganggapnya biasa aja, sedangkan saya menganggapnya sangat istimewa.
Meskipun berulangkali saya meyakinkan diri, udahlah gak usah dipikirin, tetap aja ibarat luka yang berusaha disembuhkan, parutnya tetap ada.
Kalau masalah sibuk, dia guru saya juga guru, jumlah anak saya malah dua kali lipat jumlah anaknya. Saya masih harus ngurus dan nulis di majalah, sekali-sekali masih juga menggarap sinopsis FTV. Apa lantas kesibukan layak dijadikan alasan untuk putusnya silaturahim?
Tuk seseorang yang kuanggap sahabat, please jelaskan dong salah saya apa supaya dosa saya gak kebawa sampai akhirat.

Selasa, 02 Januari 2018

Doa dan Air Mata Ibu

Lima tahun belakangan ini aku tidak tahan memandang lama wajah ibu. Sedang asik ngobrol dengan ibu tiba-tiba saja suaraku akan tercekat dengan air mata yang mencair cepat. Ya, lima tahun ini ibuku tiba-tiba saja menua secara drastis. Tubuhnya mengurus, rambutnya memutih, pipinya habis hingga kulit wajahnya mengendur laksana keriput. Giginyapun sudah banyak yang tanggal. Andai proses penuaan ibuku tidak secepat itu, tentu dadaku tidak sesesak ini.

Ibuku lima tahun lalu masih seperti adik kakak denganku, tubuhnya bugar dan sehat, wajahnya cantik dan belum pantas memiliki cucu dan tak ada renta sama sekali. Diabetes membuat penampilannya melorot secara masif. Seringkali hal ini membuatku tidak rela, apalagi kalau melihat ibu mertuaku yang sejak aku menikah sampai sekarang tidak berubah sama sekali. Ada rasa bersyukur ibu mertua selalu sehat, namun terselip juga rasa cemburu karena ingin ibu kandungku juga seperti beliau. Ah, tapi sudahlah, rasa-rasa seperti itu malah akan membuatku tidak ridho dengan ketetapan Allah.
Sepanjang 20 tahun pernikahanku, ada sebuah peristiwa aku bertangis-tangisan dengan ibu kala kami akan kembali ke Bogor. Ibu yang mengantar sampai terminal kembali naik bis hanya untuk memelukku. Bukan tanpa alasan, aku yang saat itu sedang hamil anak ketiga, mengalami sedikit masalah dengan kehamilanku, yaitu plasenta previa.
"Sudahlah kamu gak usah balik dulu, tinggal 2 bulan lagi kamu lahiran, lahiran di Bandung aja, anak-anakmukan juga masih kecil-kecil, gimana kalo pas kamu mau lahiran suamimu pas dines? Mana kehamilanmu gak normal, Ibu khawatir Viiii, khawatiiiir," ibu mulai tergugu. Aku yang cengeng ikut menangis bersama ibu.
"Insya Allah Vi akan baik-baik aja, Bu, ada Allah, tetanggaku di sana juga baik-baik," ujarku. Ibu masih tetap memaksaku turun dari bis dan kembali ke rumah. Tapi aku berkeras dan tetap menggeleng. Dan akhirnya dengan berat hati ibu melepas kepergian kami masih dengan air mata berderai hingga membuat air mataku juga tak surut-surut.
Pada akhirnya, meski sejak awal aku diprediksi harus caesar, tapi kehendak Allah jua yang berlaku. Aku bisa lahiran normal bahkan tidak harus ke rumah sakit atau klinik, alias melahirkan di rumah. Suami yang sebetulnya sedang dinas tiba-tiba pulang karena perasaannya tidak enak, padahal di zaman itu belum ada smartphone dan bahkan hape biasapun saat itu masih sangat jarang yang punya, hingga tanpa pegang hape saya merasa baik-baik saja.
Jadi Allah lancarkan semua proses saat saya melahirkan ini sudah pasti tak lepas dari doa yang diiringi air mata ibu. Ibuku yang sebenarnya selalu ingin memeluk dan mencium anak-anaknya meskipun sudah dewasa.