Saat awal pindah ke
Perumahan Paspampres Cileungsi pada April 2001 lalu, ada kekhawatiran yang
besar dalam diri saya mengenai pergaulan dengan warganya yang mayoritas berisi
anggota keluarga Paspampres. Kekhawatiran saya beralasan karena sejak kecil
sudah sering disuguhi cerita yang ‘seram-seram’ dari komplek TNI secara umum.
Namun kala kami baru
beberapa menit melepas penat setelah perjalanan dari Bandung ke Cileungsi,
beberapa ibu-ibu mengetuk pintu untuk menyapa dan berkenalan. Alangkah lega dan
bahagianya saya karena kekhawatiran saya tak terbukti. Bukan sekedar menyapa,
ibu-ibu yang kesemuanya adalah istri anggota Paspampres itu juga menyambut amat
baik kehadiran kami di situ.
“Kalau ada apa-apa
jangan sungkan-sungkan minta tolong sama kita-kita,” ujar ibu yang terlihat
lebih dewasa usianya.
“Iya, ketok pintu aja,
pasti kami buka biarpun tengah malam,” sahut yang lain. Tawa kamipun berderai.
Leganya saya karena di hari pertama sudah disambut dengan hangat.
Beberapa minggu
menjalani aktifitas di perumahan itu, membuat saya hapal dengan rutinitas
ibu-ibunya. Pagi-pagi setelah Subuh, kurang lebih pukul 5 setelah truk atau bis
jemputan berangkat, sebagian kecil dari kami akan langsung meluncur ke tukang
sayur yang lebih akrab disapa bude sayur. Saya memilih belanja pagi karena anak
saya yang masih balita sedang lelap, sehingga saya bisa bebas melakukan
aktifitas domestik. Sekitar pukul sembilanan pagi, beberapa ibu-ibu akan sudah
berjejer di kursi bambu panjang yang entah sudah ada di sana sejak kapan, kalau
tidak beberapa ngobrol di teras salah satu rumah. Namun kebiasaan ini berubah
seiring bertambahnya usia anak, anak-anak yang mulai sekolah akan diantar
ibunya sedangkan yang sudah besar sedikit sudah tak lagi diantar, sehinga ada
pergeseran ibu-ibu yang melepas penat di kursi bambu itu. Saya sendiri memilih
tidak tiap hari menjalani rutinitas itu, karena ada kegiatan lain yang lebih
banyak menyita waktu, seperti menulis, membaca, merajut atau menjahit pakaian
anak dan yang pasti bermain dengan anak. Memang pada awalnya saya sering
dihampiri untuk diajak kumpul-kumpul, namun lama kelamaan mereka sudah hapal
kalau saya hanya akan ikut kumpul sekali-kali saja. Kalau dihitung-hitung
seminggu paling banyak tiga kali. Tiga kali itu benar-benar tiga kali seminggu,
misalnya kalau saya sudah kumpul pagi maka sorenya saya akan absen, sedangkan
kalau pagi saya belum ikutan nimbrung, sorenya saya hadir. Kalau yang lain
betul-betul pagi dan sore.
Pernah suatu kali saya
selama seminggu penuh tidak keluar karena ada buku yang sedang serius saya
baca, saat itu saya punya target baca buku one
day one book, alhasil hampir satu gang ibu-ibu mengunjungi saya semua
karena mereka cemas saya sedang sakit, mereka tidak mendapati saya juga di
tukang sayur karena saya belanjanya saat langit masih gelap. Alangkah
terharunya saya mendapatkan perhatian seperti itu. Seumur hidup baru kali itu
saya merasakan betul-betul rasa kekeluargaan yang mendalam walaupun kami bukan
satu ayah satu ibu dan bahkan sebelumnya tidak saling kenal.
Kenangan anak-anak waktu masih di perum Paspampres. |
Saat saya hendak minta
seember air ke rumah tetangga, beliau merasa tak tega demi melihat perut saya
yang besar karena sedang hamil tua anak kedua dengan tangan kiri menggandeng
tangan si sulung dan tangan kanan menenteng ember.
“Sudah, Ibu di rumah
saja, biar kami yang urus,” ujarnya. Saya menurut lalu kembali ke rumah.
Beberapa saat kemudian
pintu rumah diketuk, ternyata ada beberapa bapak-bapak ditemani istri-istrinya
membawa selang lumayan panjang.
“Yang mau diisi air di
mana, Bu? Kamar mandi ya?” Tanyanya. Saya yang masih terheran-heran hanya
mengangguk. Ditemani istrinya, bapak itu lalu menuju kamar mandi. Beliau
memberi kode kalau sudah siap dan istrinya menuju pintu untuk memberi kode lagi
pada tetangga di depan rumah. Tak lama air mengalir deras memenuhi bak kamar
mandi saya. Saat itu saya baru menyadari kalau mereka sedang berbondong-bondong
membantu saya memberi air.
Setelah bak kamar mandi
penuh, kembali istrinya memberi kode untuk mematikan air.
“Yang mana lagi yang
mau diisi air, Bu?” Tanya bapak itu lagi. Saya menunjuk pada tiga ember yang
ada di dapur. Lagi-lagi sang istri memberi kode untuk menyalakan air. Ya Tuhan,
malam itu saya bisa lega karena bukan hanya seember air saja yang saya dapat,
tapi melimpah. Bukan air saja yang saya rasa melimpah, namun juga limpahan
kasih sayang mereka kepada saya. Saya langsung menangis saat itu juga sambil
tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
Keesokan harinya saya
baru tahu kalau semalam ada delapan rumah yang meminjamkan selang demi air itu
sampai ke rumah saya, karena saat itu rata-rata di tiap rumah hanya memiliki
selang berukuran pendek. Lagi-lagi saya terharu, terbayang kehebohan mereka
menyambung-nyambungkan selang, tentulah bukan perkara mudah, apalagi kalau
diameter selangnya sama atau berbeda jauh, tentu lebih sulit lagi. Saya
bersyukur Tuhan menempatkan saya di perumahan ini.
Di samping cerita
mengharukan, ada pula cerita lucunya. Di perumahan itu ada rutinitas mengaji
setiap Kamis sore dan saat saya akan ke warung di hari Selasa sore ada seorang
ibu yang kebetulan belum saya kenal terheran-heran melihat saya.
“Emang pengajiannya
sekarang ganti hari, ya, Bu?” Tanyanya. Gantian saya yang bingung.
“Kayaknya nggak, deh,
Bu, memangnya kenapa?” Tanya saya.
“Ibu habis
pengajiankan?” Tanyanya lagi. Saya menggeleng.
“Saya mau ke warung, Bu, bukan habis pengajian,” jawab
saya.
“Lah, mau ke warung kok pakai kerudung?” Tanyanya heran.
Saya juga semakin bingung.
“Saya pakai kerudung
sejak sekolah, Bu, jadi pengajian nggak pengajian saya tetap pakai,” jawab saya
terkekeh, ibu itupun tertawa. Kamipun akhirnya berkenalan dan berteman akrab.
Saat tahun 2001-an itu kerudung atau jilbab memang belum ngetren seperti
sekarang, jadi masih banyak yang merasa janggal melihat orang memakai kerudung
tapi kegiatannya di luar pengajian atau kegiatan keagamaan.
Yang lebih lucu lagi
adalah saat ada seorang ibu langsung menawari saya kerokan, jamu masuk angin
dan bahkan langsung membawakan minyak angin ke rumah saya.
“Ibukan lagi masuk
angin, sini saya kerokin biar sembuh,” ujarnya sok tahu. Saya bingung.
“Saya nggak masuk
angin, Bu,” jawab saya.
“Lho tapi tadi ke
warung kok pakai kaos kaki? Apa namanya itu kalau nggak masuk angin?” Ujarnya
lagi. Ya Tuhan, ingin sekali saya tertawa sampai guling-guling, tapi tentu saja
ditahan.
“Oalah, sejak saya
pakai kerudung saya juga pakai kaos kaki, Bu,” ujar saya.
Beliau lalu
bertanya-tanya lebih banyak lagi dan akhirnya saya berbagi ilmu agama padanya.
Ada keharuan, kelucuan
namun tak luput pula ada pergesekan-pergesekan sesame warga perumahan,
terutamanya antar ibu-ibu. Sebisa mungkin saya menghindar kalau hal itu sampai
terjadi atau hampir terjadi, saya selalu ingat pesan suami agar saya menjaga
pergaulan, maksudnya pergaulan yang sudah terbina dengan baik jangan sampai
dikotori oleh hal-hal sepele yang bisa merusak kasih sayang. Dan kebanyakan
yang saya temui memang hanyalah hal sepele dan remeh temeh yang sebenarnya
bukanlah masalah tapi anehnya menjadi masalah. Contohnya adalah saat tidak
kebagian tempe di bude sayur, hal itu pernah saya alami kala saya belanjanya
kesiangan. Saya kaget kala ada seorang ibu berkata keras dan lantang karena
melihat tempe di tangan saya, beliau berpendapat kalau tempe itu adalah haknya
karena lebih dulu datang dibanding saya. Karena teringat pesan suami sayapun
mengalah meskipun sebenarnya saya dongkol bukan main. Sebelah saya membisiki
kalau ibu itu memang senang cari ribut, kalau pagi itu tidak ketemu saya,
mungkin ibu tadi sudah bertengkar dengan yang lain hanya gara-gara masalah
tempe.
Masih banyak
perkara-perkara lain yang kalau saya ceritakan di sini mungkin akan menjadi
berjilid-jilid judul novel. Yang pasti saya bangga menjadi seorang istri
prajurit dan tinggal di perumahan yang sebagian besar berisi anggota dan
keluarga prajurit juga. Ada kebersamaan dan ada kekeluargaan yang akan selalu saya
rindukan sepanjang sisa umur saya.Itu sedikit cerita saya selama 4 tahun tinggal di perumahan Paspampres Cileungsi Bogor.