Menjalani hari demi hari, bukan peristiwa manis saja yang
akan kita temui, namun seringkali hal-hal pahit mengampiri di luar batas
kemampuan kita dan tanpa diduga. Betapa kita sudah berusaha menghindarinya,
namun kuasa bukan berada di tangan kita. Seperti halnya saya yang harus merelakan kepergian anak yang tiba-tiba tanggal 25
November 2016 lalu. Saat itu rasanya hidup sudah berakhir detik itu juga. Ingin
rasanya nafas terhenti sebelum segala proses pengurusan almarhum dimulai hingga
pemakaman. Namun nyatanya Tuhan tidak menghendaki itu, bahkan saat itu saya
masih bisa tegak menerima para tamu dengan senyuman, saya tidak pingsan, tidak
meraung atau semacamnya, sampai ada
bisik-bisik mampir ke telinga.
“Kok masih bisa senyum, ya?” Bisik ibu yang satu ke telinga
seorang ibu di sebelahnya.
“Belum rasa aja, coba kalau kita semua udah pulang, baru deh
kerasa kehilangan,” sahut ibu yang dibisiki. Mereka tidak tahu saja kalau saya
sudah 2 kali ganti pakaian karena basah oleh
air mata sebelum mereka kemari.
Namun nyatanya pernyataan ibu itu benar, kesedihan,
kepedihan, rasa sesak di dada tiba-tiba mengoyak saat rumah sudah sepi, hanya
tinggal kami yang termangu masih tak percaya dengan yang baru saja terjadi. Hanya
satu yang saya minta saat itu pada Tuhan yaitu supaya saya masih diberi
kewarasan, karena kehilangan anak sama artinya seperti kehilangan nyawa
sendiri, separuh jiwa serasa pergi. Dan saat malam tiba adalah saat di mana
kesedihan itu seolah mencengkeram tanpa ampun. Saya tidak bisa lagi memberinya
ASI sambil memeluk dan sesekali menciumnya. Saya tidak bisa lagi mendengar
tangisannya. Pada akhirnya malam terasa begitu panjang karena kantuk tak juga
menyapa.
Muhammad Al-Fateh yang dirindui |
sepasang mata bening yang menggemaskan |
Sehari dua hari saya tak sanggup untuk makan, bahkan hanya
secuil kue saja saya tolak, dan hal itu berlangsung sampai seminggu penuh. Hanya
air putih yang sanggup melewati kerongkongan. Anehnya ASI masih saja penuh
hingga mendesak-desak keluar, merembes, hingga sehari bisa beberapa kali ganti
baju karena basah oleh ASI, dan itu semakin membuat dada sesak. Hanya minum
saja ASI saya begitu deras, bagaimana kalau saya sanggup makan? Namun akhirnya
kesehatan saya menurun, badan lemas dan virus penyakit begitu mudah
menghampiri. Pekerjaan rumah tak lagi sanggup saya kerjakan. Dalam kondisi
terbaring itulah keinginan membaca buku begitu menggebu untuk mengusir
kebosanan. Saya membaca buku-buku anak TK sampai buku tebal-tebal. Di sana saya
belajar rukun iman lagi, belajar hakikat hidup lagi. Mempelajari ilmu kehidupan
yang sudah banyak saya lupakan. Saya menangis lagi saat mendengar nasyid
tentang kasih sayang Tuhan yang disampaikan melalui kesusahan. Tangisan kali
ini bukan meratapi kepergian anak saya, melainkan tangisan keinsyafan, tangisan
penyesalan karena telah ‘sejenak’ pergi meninggalkan Tuhan, padahal Tuhan
sedang memanggil dengan kasih sayang-Nya melalui ujian kesusahan.
Pada akhirnya saya akur dengan kenyataan hidup yang harus
saya jalani, saya paksakan untuk makan, masih banyak orang-orang di sekeliling
saya yang harus saya perhatikan, masih harus saya urusi dan merekapun sayang
pada saya. Suami saya juga memberikan multivitamin-mineral untuk
mempercepat pemulihan kondisi tubuh saya. Alhamdulillah kondisi saya pulih
dalam waktu singkat,padahal saya baru makan beberapa potong buah saja. Sejak saat itu saya bisa beraktifitas kembali
seperti biasa. Memangnya sedihnya sudah hilang? Tentu saja masih, rasa sedih,
rindu dan pengharapan datang silih
berganti. Apalagi saat membereskan perlengkapan almarhum, tak bisa diungkapkan
rasanya, bahkan hanya melihat panci yang selalu dipakai untuk merebus air mandinya
saja hati serasa remuk lagi, air mata tak terbendug lagi. Lebih-lebih kalau ASI
sudah penuh, merembes dan membasahi baju, rasa penyesalan menyeruak kembali,
dan ASI saya baru mengering sampai sebulan setelah kepergiannya.
Sebelum 40 hari dirundung duka, saya menawarkan diri untuk
mengajar di Rumah Amal Anak Kesayangan di Sentul Bogor. Saya berharap aktifitas
saya di sini akan memberi semangat positif pada diri saya selain ‘kesadaran’
yang telah saya dapat tentang penerimaan pada takdir Tuhan. Ternyata menghibur
anak-anak mampu menghibur diri saya sendiri. Berbagi cerita-cerita teladan pada
jiwa-jiwa yang masih suci itu, diselingi celetukan-celetukan naïf dari
bibir-bibir mereka, mampu meminggirkan kedukaan saya.
anak-anak adalah cahaya mata |
keceriaan mereka menularkan semangat |
"Kesusahan akan membuat kita lebih sensitif dengan pnderitaan orang," ujar teman saya. Ya, saya akur karena kita akan lebih empati, lebih simpati pada kesulitan orang lain jika kita sudah pernah merasakannya. Bukan berarti orang yang tidak pernah merasaan kesusahan tidak bisa berempati pada orang lain, namun dengan adanya ujian kesusahan itu artinya adalah pendewasaan. Belum tentu yang usianya dewasa jiwanya juga sudah dewasa. Dengan adanya kesadaran untuk apa kita hidup, maka ujian-ujian yang datang,baik ujian kesenangan maupun ujian kesusahan semuanya bisa mematangkan jiwa kita, mendewasakan kepribadian kita, hingga kita bisa lebih bijak dalam menyikapi hidup.
Kalau aktifitas sudah padat, seringkali saya lupa dengan jadwal makan dan asupan gizi yang baik, hingga penyakit dengan mudah menghampiri.