"Ibu, jangan sedih lagi," suara mungil itu mengagetkanku. Bayi itu bisa bicara!
"Ibu, sedihkan saja rasa-rasa yang ada di hati Ibu pada Allah, Ramadlan sudah hampir tiba, bagaimana kalau Ramadlan tahun ini jadi Ramadlan terakhir buatmu, Bu?" Tutur bayi berbedong biru langit itu. Aku masih tak percaya dia sudah mengeluarkan kata-kata.
"Ibu, pandanglah aku, lihatlah mataku, adakah terasa kehebatan Tuhan di sana?" Ujarnya lagi. Aku merangsek mendekatinya. Kuraih bayi itu dalam pelukanku. Air mataku menderas, kerinduan itu seakan menemukan destinasinya.
"Ibu kangen banget sama kamu, Nak," bisikku menatapnya.
"Apakah kerinduan Ibu padaku lebih besar daripada kepada Pencipta Ibu Yang Maha Baik itu?" Pertanyaan itu begitu menohok perasaanku.
"Ibu, ujianmu sudah begitu berat, sayang kalau tidak ada hasil," ujarnya lagi. Ya Tuhan, mengapa bayi ini begitu pintar? Dia berbicara seolah sedang menasehatiku, nasehat yang sungguh menampar.
"Ibu, aku pamit, nanti aku akan berkunjung lagi," suara mungil itu begitu terdengar jelas.
"Jangan pergi lagi, Nak, Ibu masih kangen,"ujarku. Tapi tidak, seseorang berjubah putih telah lebih dulu mengambilnya dari pangkuanku, aku menyesal, seharusnya aku memperketat pelukan supaya dia tidak bisa mengambil lagi bayiku.
"Jangan pergi lagi, Nak, jangan!" Teriakku. Terlambat, dia sudah pergi secepat kilat. Aku tergugu, menangis lagi dan ruang hatiku seperti ada yang hilang, tercerabut paksa akarnya hingga terasa sakit.
"Istighfar, Bu, istighfar," tubuhku digoncang-goncang, aku terbangun dengan pipi basah.
"Aku kenapa?" Tanyaku.
"Teriak-teriak gak jelas, pasti mimpi buruk, lupa berdoa, ya?" Tuduh suamiku. Aku menggeleng, aku bukan mimpi buruk.
"Aku ketemu Dehya, Yah," sahutku, mencoba berbaring kembali karena waktu masih menunjukkan tengah malam.
"Dia banyak menasehatiku, Yah, tentang rasa bertuhan yang belum kupunya, dia menyuruhku baiki diri, apalagi sebentar lagi Ramadlan, dia nanya, bagaimana kalau tahun ini jadi Ramadlan terakhirku?" Sampai di sini aku tercekat, perasaan campur aduk antara kerinduanku padanya dan kebenaran kata-katanya.
Segera kuraih gawaiku, kubuka galeri foto dan menatapi foto-foto lucu Dehya saat masih bersama kami. Dan luka itu seolah semakin menganga kala tiba pada foto tubuhnya yang sudah selesai dikafani, air mataku jatuh lagi. Sudah 2 tahun tapi seolah aku belum ikhlas, aku belum menerima keputusan Tuhan untuk mengambilnya kembali.
***
"Orang yang secara lahir kelihatan amalannya banyak tapi hati tidak rasa takut dengan Allah itu lebih berat kesalahannya daripada orang yang mencuri. Kalau kita mencuri terasa berdosa karena kesalahan itu dapat dinilai secara lahir. Tapi kesalahan orang yang beribadah karena fadhilat itu tidak terasa, sangat halus dan berbahaya," tutur ustad Adib begitu menohokku. Hampir mirip dengan kata-kata bayiku semalam.
Ibadah yang tidak dihayati sia-sia
Ibadah sebanyak apapun tidak ada nilai di sisi Allah
Kalau mazmumah masih bersarang di hati
Sedikit ibadah tidak mengapa asalkan yang fardlu tidak ditinggalkan dan mazmumah dapat disembuhkan
Mazmumah itulah yang memudharatkan diri karena nafsu yang belum terdidik
Nafsu yang belum terdidik, mazmumahlah yang menguasai diri seseorang
Apalah artinya ibadah kalau mazmumah masih bersarang dalam diri dan merusak orang lain?
Ibadah banyak tapi masih pemarah, hasad, dendam, tamak, sombong, riyak, ujub, cinta dunia, dan lain-lain?
Tujuan ibadah adalah untuk mengobati penyakit batin yang memusnahkan
Ibadah yang dihayati bisa mendidik nafsu yang liar yang menjadi bala bencana pada dunia
Kutulis dengan seksama ceramah ustad Adib karena aku tahu diri, sering pelupa. Tiba-tiba seorang ibu di sebelah menyenggol lenganku.
"Kalau lagi ada ceramah didengerin, Bu," ujarnya setengah berbisik. Aku merasa kesal lalu kutunjukkan apa yang kutulis, ibu itu nyengir tapi aku istighfar, ngapain aku kesal? Berarti aku memang masih pemarahkan? Ya Tuhan sedihnya.
Setelah ceramah usai dan ustad Adib pamit, bu Wiwid menghampiriku dengan senyum ramahnya.
"Alhamdulillah sudah bisa aktifitas ngaji lagi, ya, Bu, jangan berlarut-larut, Bu, masih banyak yang harus kita perjuangkan, apalagi sebentar lagi Ramadlan, masih harus banyak baiki diri," paparnya. Lalu kami ngobrol tentang banyak hal, maklum selama hampir 2 tahun aku tak pernah menyambangi siapapun di komplek ini, apalagi kegiatan arisan dan pengajian. Sesungguhnya aku menghindari pertanyaan orang-orang tentang kematian anakku.
Obrolanku dengan bu Wiwid macam-macam, dari penghuni komplek baru sampai hal-hal yang terdengar lucu hingga mau tak mau membuatku tertawa. Tiba-tiba ada seorang ibu yang terasa asing di mataku, mungkin dia salah satu penghuni baru yang tadi diceritakan.
"Oh, ini yang namanya bu Vivi? Yang anaknya meninggal itu?" Tanyanya, aku mengangguk meskipun sakit mendengarnya.
"Aneh, ya, anaknya meninggal tapi masih bisa ketawa-ketawa," ujarnya begitu saja. Aku terkejut, begitu juga bu Wiwid, kami berpandangan namun ibu itu melengos sambil menunjukkan wajah tidak simpati. Ya Tuhan, sakit sekali rasanya, ya Tuhan ternyata hatiku memang masih banyak boroknya, masih harus disembuhkan penyakitnya. Rasanya perih hingga air mata tiba-tiba mengambang di pelupuk mataku.
"Sabar, ya, Bu," hibur bu Wiwid.
"Justru saya harus terima kasih sama ibu tadi, saya jadi tahu saya memang belum menghayati ibadah, hingga masih sakit hati kalau dikatain orang, kalau hati sudah bersih, sudah lurus, gak akan kerasa apa-apa, persis kayak ceramah tadi, iyakan, Bu?" Ujarku. Persis pula seperti untaian kata anakku dalam mimpi.
Bagaimana kalau Ramadlan ini jadi yang terakhir bagiku? Ya Allah, bersihkanlah hatiku hingga aku bisa mempertajam rasa bertuhan dan rasa kehambaan.
#PostinganTematik #PosTemSpesialRamadan #BloggerMuslimah Indonesia
"Tulisan ini diikutkan dalam postingan tematik Blogger Muslimah Indonesia Blogger Muslimah Indonesia"