Lima tahun belakangan ini aku tidak tahan memandang lama wajah ibu. Sedang asik ngobrol dengan ibu tiba-tiba saja suaraku akan tercekat dengan air mata yang mencair cepat. Ya, lima tahun ini ibuku tiba-tiba saja menua secara drastis. Tubuhnya mengurus, rambutnya memutih, pipinya habis hingga kulit wajahnya mengendur laksana keriput. Giginyapun sudah banyak yang tanggal. Andai proses penuaan ibuku tidak secepat itu, tentu dadaku tidak sesesak ini.
Ibuku lima tahun lalu masih seperti adik kakak denganku, tubuhnya bugar dan sehat, wajahnya cantik dan belum pantas memiliki cucu dan tak ada renta sama sekali. Diabetes membuat penampilannya melorot secara masif. Seringkali hal ini membuatku tidak rela, apalagi kalau melihat ibu mertuaku yang sejak aku menikah sampai sekarang tidak berubah sama sekali. Ada rasa bersyukur ibu mertua selalu sehat, namun terselip juga rasa cemburu karena ingin ibu kandungku juga seperti beliau. Ah, tapi sudahlah, rasa-rasa seperti itu malah akan membuatku tidak ridho dengan ketetapan Allah.
Sepanjang 20 tahun pernikahanku, ada sebuah peristiwa aku bertangis-tangisan dengan ibu kala kami akan kembali ke Bogor. Ibu yang mengantar sampai terminal kembali naik bis hanya untuk memelukku. Bukan tanpa alasan, aku yang saat itu sedang hamil anak ketiga, mengalami sedikit masalah dengan kehamilanku, yaitu plasenta previa.
"Sudahlah kamu gak usah balik dulu, tinggal 2 bulan lagi kamu lahiran, lahiran di Bandung aja, anak-anakmukan juga masih kecil-kecil, gimana kalo pas kamu mau lahiran suamimu pas dines? Mana kehamilanmu gak normal, Ibu khawatir Viiii, khawatiiiir," ibu mulai tergugu. Aku yang cengeng ikut menangis bersama ibu.
"Insya Allah Vi akan baik-baik aja, Bu, ada Allah, tetanggaku di sana juga baik-baik," ujarku. Ibu masih tetap memaksaku turun dari bis dan kembali ke rumah. Tapi aku berkeras dan tetap menggeleng. Dan akhirnya dengan berat hati ibu melepas kepergian kami masih dengan air mata berderai hingga membuat air mataku juga tak surut-surut.
Pada akhirnya, meski sejak awal aku diprediksi harus caesar, tapi kehendak Allah jua yang berlaku. Aku bisa lahiran normal bahkan tidak harus ke rumah sakit atau klinik, alias melahirkan di rumah. Suami yang sebetulnya sedang dinas tiba-tiba pulang karena perasaannya tidak enak, padahal di zaman itu belum ada smartphone dan bahkan hape biasapun saat itu masih sangat jarang yang punya, hingga tanpa pegang hape saya merasa baik-baik saja.
Jadi Allah lancarkan semua proses saat saya melahirkan ini sudah pasti tak lepas dari doa yang diiringi air mata ibu. Ibuku yang sebenarnya selalu ingin memeluk dan mencium anak-anaknya meskipun sudah dewasa.
Masya Allah ternyata bisa lahiran normal ya mba :) pasti doa ibu ada sangat berarti, begitu juga buat aku ^^
BalasHapusBetul Mbak, alhamdulillah itu semua karena doa ibu
Hapusdoa ibu selalu mengiringi ya bun
BalasHapusIya betul Mbak
HapusMasya Allah.. Doa Ibu yang benar-benar mustajab ya Mbak
BalasHapusIya Mbak, doa ibu setajam belati
Hapusbaik-baik selalu bunda dan mba ya, aamiin :)
BalasHapusAamiin, makasih Mbak😊
HapusSubhanallah, besar sekali peranan ibu untuk kita ya...
BalasHapus