Dari enam kehamilan, hanya kehamilan pertamalah yang membuat
saya benar-benar jatuh bangun, mungkin karena kehamilan pertama ya, jadi masih
belum ada pengalaman dan manjanya masih besar, apalagi waktu itu saya masih
ikut orang tua karena kuliah belum selesai.
Empat bulan pertama saya lalui dengan susah payah, segala jenis makanan sulit sekali berhasil masuk ke mulut, apalagi ke perut, dapur sangat saya
hindari, bahkan saya tutup hidung kalau terpaksa pergi ke dapur, tidak ada
satupun aroma makanan yang enak di hidung saya, semua bakal membuat perut
serasa diaduk-aduk. Syukurlah saat menjalani kegiatan kuliah segala keluhan itu hilang, mungkin
karena di kelas tidak ada aroma-aroma makanan dan tidak ada dapur, jadi saya
bebas mual dan bebas puyeng.
Pada usia 3 minggu kehamilan, saya harus berangkat KKN ke Desa
Sudalarang di Kecamatan Sukawening Garut. Saat penerimaan mahasiswa KKN di
kelurahan, disediakan makanan sebagai ungkapan selamat datang. Saat itu
sudah 3 hari perut saya tidak terisi nasi sama sekali, hanya susu ibu hamil dan
teh manis. Saya sempat tidak jadi ambil piring karena pasti hanya akan mubazir
saja, namun teman saya berbisik memaksa saya makan untuk menghormati tuan
rumah. Akhirnya dengan berat hati saya mengambil piring, menyendok nasi, sayur
asem kacang merah, sambel dan tempe goreng.
Ajaib! Suapan pertama yang saya duga akan saya telan dengan
susah payah, ternyata sebaliknya, terus berlanjut sampai suapan terakhir. Saya senang
sekali, sujud syukur bisa menghabiskan sepiring nasi setelah tiga hari hanya
terisi minuman saja. Saya pikir mungkin karena Desa Sudalarang ini masih
kampung hingga suasana alaminya membuat saya mau makan.
Sayang itu tidak berlangsung lama, tiga hari di sana, saya
sudah enggan lagi menyentuh makanan, saya juga absen dari tugas masak. Saya bahkan
sempat besitegang dengan rekan KKN yang laki-laki karena dia membawa sekardus
mie instan ke rumah kami menginap. Sejak hamil saya memang benci sekali dengan
mie instan, jangankan memakannya, melihat bungkusnya saja membuat saya mual.
Saya menyuruh mereka membawa ke rumah khusus mahasiswa putra saja, namun mereka
enggan karena dapur ada di rumah mahasiswi. Akhirnya karena alasan saya dianggap tidak
masuk akal, maka kardus berisi mie instan itu tetap berada di rumah yang kami
tempati. Melihat kardus mie instan teronggok di tempat yang sering saya lewati tentu saja mengganggu, sampai akhirnya kardus itu saya tutupi dengan handuk karena saya tidak
sanggup melihatnya. Kalau mereka akan masak mie instan, mereka akan memberitahu supaya saya bisa kabur dulu untuk sementara.
Dua minggu di Garut, teman-teman mengijinkan saya pulang sebentar
untuk periksa kandungan, mereka juga khawatir dengan keadaan saya yang tidak
pernah makan sama sekali, hanya minum susu, teh dan vitamin. Mereka heran
karena saya masih bisa bangun padahal tidak makan, saking cemasnya setiap ada
makanan apa saja di warung seperti gorengan, roti bahkan rujak pasti
dibawakannya untuk saya. Secuil dua cuil makanan itu memang bisa mampir ke
perut saya, itu sudah cukup melegakan.
Setelah menempuh perjalanan 2 jam lebih, saya sampai ke rumah, saat itu baru terasa kalau saya kelaparan betul hingga saya langsung makan.Saya
dibuat heran lagi karena bisa menghabiskan sepiring nasi, persis seperti saat
saya baru tiba di Garut. Ibu saya senang sekali dengan perkembangan itu, ibu
saya menduga kalau saya sudah bisa melewati fase morning sickness meski
kandungan masih 5 minggu. Ibu saya keliru karena setelah 3 hari di rumah, saya
kembali dilanda GTM, saya mogok makan lagi.
Di hari keempat saya kembali ke Garut, saya sudah bisa
menduga pasti saya akan bisa makan setelah baru tiba di sana, dan itu memang
benar. Sama seperti ibu, teman-teman sayapun mengira saya sudah ‘normal’.
Syukurlah kondisi sulit itu benar-benar hilang saat
kehamilan sudah memasuki bulan kelima. Saya tetap aktif kuliah dan mengikuti
kegiatan kemahasiswaan, bahkan saya merasa lebih sehat dari sebelumnya. Bahkan saya masih kuliah walau sudah mendekati
HPL. Sudah banyak buku, majalah dan tabloid tentang kehamilan yang saya baca,
saya juga sering sharing dengan ibu-ibu yang sudah pengalaman, termasuk ibu saya
sendiri dan ibu mertua, jadi saya merasa siap dan tidak khawatir dengan kondisi
saya meskipun masih dibawa kuliah, toh kandungan saya sehat.
Namun siapa sangka saya harus mengalami kejadian tak
terlupakan di kala hamil besar begitu, yaitu ketika supir angkot demo karena
ada kenaikan BBM dan kenaikan setoran. Karena demo, otomatis hari itu merekapun
mogok beroperasi. Nah, lalu nasib saya bagaimana? Jarak dari Setiabudi ke
Sukamiskin tak kepalang tanggung jauhnya, menempuh perjalanan normal saja bisa
makan waktu 1 sampai 2 jam, bagaimana dengan jalan kaki?
Tak ada harapan, tak ada orang di rumah yang bisa dimintai
tolong untuk menjemput, akhirnya saya dan beberapa teman jalan kaki. Di sepanjang
jalan kami bertemu dengan orang-orang yang jalan kaki juga, maka lama kelamaan
kami seperti rombongan gerak jalan sore. Jadilah sore itu saya tetap bahagia
meskipun penteyotan jalan kaki dengan perut yang besar. Kalau banyak teman
seperti itu kesusahan memang terasa indah saja.
Tiba di Cicaheum kondisinya sama, supir-supir angkot di sana
juga demo dan mogok beroperasi, jalanan lengang karena sepi angkot, maka lanjutlah perjalanan saya sampai ke Sukamiskin. Sambil
berjalan saya tak henti-hentinya mengelus-elus perut saya yang saya rasa tak
menemukan gerakannya, mungkin karena saya jalan kaki, jadi dia nyenyak di dalam
sana karena serasa digendong.
Saat tiba di jalan menuju rumah, saya sudah hampir kehabisan
nafas, saya harus naik ojek karena meskipun jarak dari jalan Pasir Impun itu ke
rumah ibu saya hanya sekitar 600 meter, namun jalanannya menanjak, persis
seperti naik gunung. Namun ternyata ojek sedang laris manis, karena tak satupun
ojek yang sedang nangkring. Adzan Maghrib sudah berkumandang, memaksa saya
untuk melanjutkan langkah kembali. Meski nafas sudah satu dua, akhirnya tiba
juga saya ke rumah meski rasanya sudah mau pingsan saja.
Keesokan harinya saya merasa perut kram dan tegang, namun
saya tidak bilang pada kedua orang tua saya dan suami. Suami saya menengok
seminggu sekali ke Bandung karena tugasnya di Jakarta. Dari yang saya baca,
ketegangan itu hal biasa, tidak usah dirisaukan, apalagi setelah beraktivitas
seperti yang kulakukan pada hari Jumat kemarin, yaitu jalan kaki dari kampus ke
rumah.
Ternyata ketegangan di perut saya berlanjut sampai hari
Minggu sekitar jam 11-an malam, yaitu rasa mulas seperti segugut, rasa sakit
tatkala mestruasi di hari pertama. Saya tidak mengabarkan hal itu pada siapapun
karena saya belum menemukan bercak darah.
Sekarang putriku itu sudah gadis, sudah mau masuk SMA dan
sudah bisa bantu saya mengasuh adiknya yang sudah 6 bulan sekarang ini.