Selasa, 31 Oktober 2017

Adil Itu Seperti Apa?

"Ummi gak adil!" Protes anak saya. Pernah tidak anak kita merasa kalau kita sebagai orang tuanya tidak adil? Saya pernah, sering malah. Saya sudah berusaha adil tapi anak-anak merasa saya membeda-bedakan.
"Mbakkan butuh kain banyak buat bikin pesanan, Mi, tapi Ummi cuma merhatiin Hani aja," protes si sulung.
"Hanikan juga perlu mixer ukuran besar, Mi, tapi malah ngeduluin beli mesin jahit baru buat Mbak," anak keduaku tak mau kalah. Pusing? Pusing sih tapi berusaha lempeng dan biasa saja walaupun dada bergemuruh😅
Kalau bicara soal adil, adil yang pernah saya dapat dari kuliah kurang lebih seperti ini :
Adil artinya bukan seimbang
Tidak juga berarti ukuran sama panjang
Definisi ini adalah tanggapan biasa yang lumrah kita terima
Bukan takrif yang dikehendaki oleh Islam
Arti adil meletakkan sesuatu itu sesuai dengan tempatnya atau kedudukannya
Yaitu utama mesti diutamakan
Yang tidak utama bisa di lain kesempatan
Yang penting didahulukan, yang tidak penting bisa belakangan
Yang wajib diutamakan
Mungkin sulit dipahami jika tidak diuraikan
Mari kita menguraikannya agar kita paham
Adil yang paling besar atau super adil
Allah Taala kita jadikan sebagai Tuhan
Kita sembah, kita besarkan, kita puja sepanjang masa
Kita cinta dan kita takut dan ingat serta sebut di mana-mana
Jangan jadikan selain Allah menjadi Tuhan, atau kita utamakan dan besarkan lebih darinya
Adil martabat tinggi syariat Tuhan diutamakan atau didahulukan
Atau hak Tuhan kita dahulukan
Peraturan manusia ditinggalkan
Hak Tuhan kita utamakan hak manusia kita kerjakan setelahnya
Adil martabat kedua mendahulukan hak ibu orang tua daripada kita
Guru-guru kita juga patut diutamakan dari kepentingan kita
Mendahulukan hak suami dari kita adalah utama dan mulia
Jika berkongsi berniaga saham sama banyaknya untung bagi dua
Kalau saham tidak sama untung diberi mengikut saham sedikit banyaknya
Jabatan yang hendak diberi kepada seseorang sesuai dengan kebolehannya
Gaji diberi sesuai dengan jabatan dan tanggung jawab
Inilah arti adil dan keadilan
Tapi kita sedih adil yang diperjuangkan oleh para pejuang adil martabat rendah
Super adil dan adil martabat tinggi tidak diindahkan
Bermati-matian keadilan peringkat rendah diperjuangkan hingga sanggup menumpahkan darah
Keadilan martabat tinggi dan super adil diabaikan dan tidak diindahkan
#ODOPOKT28

Senin, 30 Oktober 2017

Cerita Keponakan dan Pamannya

"Wah, hape baru nih?" Tanya suamiku sambil membolak-balik hape berlogo apel kegigit itu.
"Bisa gak?" Tanya keponakan suami pemilik hape baru itu.
"Ya bisalah, paling beda tipis aja sama hape biasa," sahut suamiku.
"Bukaaaan, maksudnya bisa gak belinya? Kebeli gak?" Tanyanya dengan wajah penuh kemenangan. Mendapati jawaban songong seperti itu hati perempuan mana sih yang gak terasa kesamber petir? Itu anak remaja lho! Anak kakak ipar yang kelahirannya begitu dinanti-nanti suamiku, suamiku yang pontang-panting kesana kemari karena bapak anak ini jauh di rantau. Suamiku yang saat dia demam sibuk menjaga dan merawatnya. Sekarang dengan berani ngomomg kurang ajar seperti itu?
Udah kesel begitu lalu saya bilang ke suami suruh negur beliau mah lempeng aja. Bilangnya anaknya memang begitu. Duh, tambah bikin gondok aja.
Sudahlah seperti itu setiap saya datang berkunjung ke rumahnya, dia gak menemui kami sama sekali, minimal bersalamanlah, tapi gak dilakukan sama sekali. Sampai anak-anak saya yang kecil-kecil tidak tahu anak-anak budenya sendiri, padahal suamiku hanya dua bersaudara.
Alhasil kalau kami berkunjung, kami hanya ditemui oleh pembantunya, ditemui sebentar oleh kakak ipar yang super sibuk karena beliau kepala sekolah dan pengurus ibu-ibu PKK.
Saya lalu mengingat-ingat apa mungkin ada kesalahan saya yang membuat keponakan suami saya ini bersikap seperti itu. Setelah saya ingat-ingat, muncul peristiwa saat kematian suami kakak ipar alias bapak dari anak songong itu.
Saat saya mengingatnya, saya coba komunikasi dengan ibu mertua. Saya tidak mau dugaan ini saya simpan sendiri. Ya, saat suami kakak ipar saya meninggal, suami sebenarnya sudah ijin cuti untuk pulang dari Jakarta ke Purworejo. Suami sudah siap berangkat sampai telpon masuk saat beliau mengenakan sepatu. Saat itu saya sendiri sedang masa nifas hingga belum bisa kemana-mana.
Telpon masuk itu mengabarkan kalau personil tim kurang hingga mau gak mau suamiku harus batal berangkat. Apakah suamiku maksa pulang kampung? Kebetulan suami bukanlah orang yang berani melanggar, jadi beliau sudah mengecewakan kakak dan keponakan-keponakannya sore itu. Suamiku tetap berangkat tapi untuk dinas, tidak jadi takziyah kakak iparnya. Mungkin hal ini yang membuat keponakannya itu terluka, sakit hati hingga membuatnya marah dan bersikap sedemikian rupa.
"Atau karena kita orang miskin, Mi?" Begitu versi anak-anakku. Yah, aku sih berusaha sedapat mungkin bersangka baik dan itu kutanamkan pada anak-anak.
Ternyata diam-diam suamiku juga mendoakan keponakannya. Saya baru tahu saat membaca curhatannya. Yah, meskipun di depan kami semua seolah baik-baik saja, ternyata suamiku memendam rasa😥
Satu lagi, keponakan suamiku ini juga anti sekali pada aparat. Dia tentulah berkaca pada pamannya.
Namun ternyata Allah saja yang bisa membolak-balik hati. Penyebab lahiriahnya memang ada, yaitu adiknya diterima dan sedang menempuh pendidikan calon Bintara. Nyatanya walaupun anti aparat, tetap saja bangga saat adiknya sudah lolos dan lulus jadi TNI.
Sore tadi anak songong ini follow suamiku di medsos setelah sebelumnya memblokir karena kesal setiap saat diberi wejangan. Dia juga menyapa suami dan bilang kalau sekarang dia sudah mulai salat, alhamdulillah.
Dan pagi ini dia juga add akun facebookku meski dia belum kunjung menyapa walaupun sudah dikonfirmasi. Semoga ini menjadi awal yang baik. Kalau sekarang saya menyebutnya bukan anak songong lagi, melainkan insya Allah anak soleh😉
#ODOPOKT27

Minggu, 29 Oktober 2017

Sudah Kenal Sama Diri Sendiri?

Anak-anak kalau dari kecil tidak dididik rohaninya
Hanya diberi ilmu syariat-syariat yang lahir-lahir saja
Dia akan lebih kenal orang lain dari dirinya
Kejahatan orang lain dia lebih nampak dari kejahatan dirinya sendiri
Orang lain sombong atau ego dia nampak,
pada masa yang sama ego dirinya lebih besar dari orang itu dia tidak terasa
Di waktu dia susah orang tidak membantunya dia terasa
padahal dia sendiri tidak pernah membantu orang
dia tidak terasa satu kesalahan
Orang mementingkan diri dia tersinggung,
Dia mementingkan diri dia tidak sadar yang sudah jadi budaya
Orang lain bakhil dia nampak  tidak patut,
dia sendiri bakhil seolah-olah tidak mengapa
Orang tidak sabar dia nampak sangat,
dia tidak sabar payah dia hendak memahaminya
Begitulah manusia jika tersalah didik dari kecilnya
Soal-soal roh atau hati,
yang ada hubungan dengan mahmudah dan mazmumah
tidak pernah dia kenal
Kalaupun dia diajar tentang Islam
hanya banyak menekankan syariat lahir semata-mata
Akibatnya dia tidak kenal diri sendiri
Tidak kenal diri sendiri artinya tidak boleh nilai diri
Tidak boleh nilai diri sendiri, kejahatan orang lainlah yang dia nampak
Kejahatan diri sendiri dia tidak nampak
Kejahan diri sendiri dia tidak sadar
Makanya dia selalu menuding jari kepada orang lain
Dirinya terkecuali dari kesalahan
Banyak manusia di dunia hari ini bersikap begini termasuk saya. Ini adalah ingatan buat diri sendiri.
#ODOPOKT26

Jumat, 27 Oktober 2017

Mau Dakwah? Ngeblog Aja!

Dunia perbloggeran sekarang ini meriah sekali, bukan saja diisi oleh kaum adam, namun juga kaum hawa, terutama juga kaum muslimahnya.
Tidak bisa dipungkiri kebutuhan akan informasi seputar dunia muslimah besar sekali, dan biasanya yang banyak dicari adalah dunia parenting, dunia kerja di lingkungan muslimah, fikih, dll. Syukurnya kebutuhan ini sedikit banyak sudah terpenuhi oleh hadirnya para blogger dari kalangan muslimah.
Sebenarnya tulisan di blog seperti apa sih yang diminati? Sudah pasti yang memberikan informasi dan menginspirasi, juga enak dibaca dan bikin betah. Mungkin salah satu sebab inilah yang membuat sebagian para emak lebih senang baca blog daripada baca buku. Di blog bebas menulis dengan gaya apa saja, dari mulai yang serius sampe yang koplak, dari mulai yang curhat sampai yang marah-marah, beda dengan bahasa buku yang ada batasan tertentu. Walaupun kalau saya pribadi lebih senang baca buku karena alasan penglihatan.
Jadinya para blogger berjasa memberi informasi dan inspirasi pada pembacanya. Jadinya jalan dakwah lewat blog bukanlah hal yang mustahil. Dakwah itu bukan berarti kita sudah banyak ilmu, kita sok suci atau kita sudah merasa baik dibandingkan orang lain. Sambil kita menyampaikan dakwah lewat tulisan, sambil kita sendiri terus belajar, belajar dan belajar. Karena kita hanyalah hamba yang lebih sering banyak lalainya. Jadi kalau kita menuliskan kebaikan atau dakwah sambil kita memohon pada Allah agar jangab sampai datang ujub dan riya. Setiap kali menulia hendaklah minta Allah saja yang mengilhamkan isi tulisan kita. Semoga jika yang kita tulis itu dari hati akan sampai pula ke hati.
Semoga semakin banyak tulisan dari blogger muslimah yang menginspirasi, memberi ilmu dan dapat membantu banyak orang.
#ODOPOKT25


Rasa Hatiku Setelah Ibadah

Maaf kalau kali ini saya curhat soal rasa hati saya pada Allah saat melakukan ibadah.
Kalau aku menghadap-Mu saat ibadah
Hatiku mulai rasa susah dan gelisah
Aku mulai bimbang bagaimana nanti aku menyembah-Mu, sopankah atau sebaliknya?
Kalau aku lakukan juga, jawabannya tentu sama
Macam-macam rasa di dalam jiwaku
Takut, bimbang, gelisah dan resah
Apabila selesai, aku rasa belum beribadah
Hatiku susah dan gundah-gulana
Tapi apalah daya, sebatas itulah yang mampu
Takkan aku mengulanginya lagi
Nilai ibadahku
Macam tadi juga
Karena itulah Tuhan, setiap kali selesai salat
Aku dahulukan memohon ampun kepada-Mu terhadap salatku, setelah itu barulah dosa-dosaku
Begitulah juga setelah aku membuat dosa
Hatiku lebih parah, susah dan gelisah
Tapi aku ini lemah bermujahadah
Setelah itu aku ulangi lagi membuat salah
Hatiku susah lagi dan gundah
Tuhan! Engkau tampunglah ibadahku mana yang kurang
Maafkan aku yang tidak sempurna
Ampunkan aku mana yang terlanjur
Karena hal itu bukan aku suka
Itulah kelemahanku
Engkau pun tahu
Rahmat-Mulah yang aku pinta
#ODOPOKT24

Rabu, 25 Oktober 2017

Pendidikan Akhlak yang Sering Diabaikan

Membaca sebuah status di facebook tentang 2 anak kecil yang ngobrolnya pake bahasa Inggris tapi tidak berakhlak dan bahkan tingkahnya kurang ajar dengan berani mengata-ngatai orang yang lebih dewasa dengan umoatan-umpatan kasar dalam bahasa Inggris membuat saya miris.
Saya menemukan bukan anak kecil itu saja yang berperilaku tidak terpuji. Dan akhirnya saya tetiba ingin menuliskan ini :
Para pemimpin atau guru juga ibu bapa
Berbagai-bagai ilmu bisa diajarnya
Berbagai-bagai kajian bisa dibuat
Hingga bisa menyelam berbagai-bagai ilmu
Membuat berbagai-bagai kemajuan
Membangun tamadun material mengagumkan
Tapi hendak mengenal Tuhan tidak tahu
Apalagi hendak mengajar rasa bertuhan
Pemimpin ingin ditaati
Tapi pemimpin tidak tahu bagaimana rakyatnya hendak mentaati mereka
Guru-guru ingin mereka dihormati
Tapi tidak tahu bagaimana hendak mendidik murid-muridnya ke arah itu
Ibu bapa juga ingin anak-anaknya menghormatinya
Tapi tidak tahu hendak melakukannya
Berbagai-bagai kepakaran dimiliki oleh cerdik pandai
Mereka bingung bagaimana hendak menjadikan siswanya menghormatinya
Kasih dan sayang kepadanya, juga mentaatinya
Padahal baik pemimpin, guru, ibu bapa
Semuanya suka jika mereka dihormati
Oleh rakyatnya, oleh murid-muridnya dan oleh anak-anaknya
Di sini kita lihat para pemimpin, guru, ibu bapa
Berjaya membangunkan tamadun material dan fisik
Tapi mereka gagal membangunkan tamadun insaniah dan rohaniah
Oleh itu apa yang berlaku di dunia ini
Berjaya berilmu, tapi tidak berjaya menahan kegaduhan dan peperangan
Berjaya membangun dan berkemajuan
Tapi tidak berjaya menahan pengkhianatan dan penipuan
Kemajuan yang tinggi dapat dibangun
Tapi gagal menjadi manusia berakhlak tinggi
Banyak manusia yang pandai tapi pandai pula merampok dan mencuri
Perempuan berjaya sebanding dengan laki-laki
Tapi hilang malunya, hancur maruahnya
Negara menjadi cantik, komunikasi semakin mudah
Tapi di dalam ketakutan
Berjaya mendapat istri atau suami
Kedua-duanya berpendidikan tapi tidak mampu saling memahami
Artinya manusia gagal di dalam kejayaan
Akalnya berkembang, kemajuan luar biasa
Tapi hati atau jiwanya mati atau buta
Karena rasa bertuhan sudah tidak ada
#ODOPOKT23

Memberilah dan Jangan Meminta

Anak saya pernah ngadu kalau ada sekelompok temannya yang selalu bisik-bisik kalau dia lewat si depan mereka. Sekelompok anak yang oleh anak saya sisebut 'cabe' itu menurutnya sedang membicarakan dirinya. Macam-macamlah teori yang dikemukakan anak saya soal 'bencinya' anak itu pada dirinya. Sebagai ibunya, tentu saya merasa kesal, tapi di depan anak sudah pasti harus 'bermuka dua'. Saya menahan rasa kesal dengan memberinya banyak petuah. Alih-alih membelanya, saya malah memberinya kuliah soal memberi. Siapa sih yang tidak ingin kasih sayang? Siapa orangnya yang tidak suka disayang? Kita semua ingin kasih sayang, tapi kita sendiri tidak pernah memberi kasih sayang kepada orang
Kita juga inginkan keadilan, tapi coba kita ingat-ingat, pernahkah kita adil kepada orang lain juga?
Kita tidak suka dizalimi, tapi kita sadarkah? Kita selalu menzalimi orang, baik secara langsung maupun tidak secara langsung. Apakah disadari atau tidak, baik fisik maupun mental.
Kitakan manusia, apa yang kita suka, itulah juga yang disukai oleh orang lain
Apa yang kita tidak suka, itulah juga yang tidak disukai oleh orang lain. Janganlah minta orang lain memahami kita. Kita juga perlu paham atau bertimbangrasa kepada orang lain. Jangan tunggu orang lain memulai, kitalah yang harus memulainya lebih dulu. Jangan kita menagih dulu, kitalah yang lebih dulu memberi.
Yang dilakukan anak saya setelah itu adalah menyapa sekelompok anak yang sering berbisik-bisik itu. Tahukah endingnya? Meskipun sebelumnya mereka kaget banget karena anak saya menyapa mereka, tapi ternyata sekarang mereka berteman akrab😄
#ODOPOKT23

Senin, 23 Oktober 2017

Poligami? Berani? (3)

Ada satu cerita teman saya yang sudah saya anggap sebagai orang tua. Bukan hanya karena usianya yang sudah dua kali lipat lebih matang, namun pengalaman hidupnya sangat menginspirasi saya secara pribadi. Selain itu akhlaknya kepada orang juga baik sekali, pemurahnya jangan ditanya deh.
Wanita yang saya panggil kak Jah ini adalah seorang dosen di universitas negeri. Suaminya yang lulusan Australia bekerja di sebuah perusahaan ternama.
Setelah memiliki 4 anak, mereka mendapat tawaran untuk menolong seorang perempuan. Perempuan ini harus segera ditolong karena dia baru fokus belajar agama namun belum bersuami padahal usianya sudah sangat matang. Selain itu orangnya tidak kuat pendirian, demi menyelamatkannya secara akidah dan juga kehidupan, maka diperlukan seseorang untuk segera menolongnya.
Peluang ini tidak disia-siakan oleh kak Jah. Dengan gagah berani dia menawarkan diri menjadi tangan yang bersedia menolong perempuan itu. Menolongnya bagaimana? Dia mohon pada suaminya untuk mau menikahinya. Sepertinya gila ya, tapi begitulah tekad kak Jah yang ingin jadi orang bertakwa.
Sampai akhirnya kak Jah punya 2 madu sikap kak Jah semakin membuat kami haru. Anak-anak madunya diasuhnya dengan penuh kasih sayang layaknya anak sendiri. Apalagi istri ketiga suaminya masih sangat muda, hingga harus banyak belajar tentang mengurus rumah, mengasuh anak, melayani suami. Kak Jah istimewa di mata saya, tapi tidak pernah mau dianggap istimewa. Adik-adik madunya juga hormat dan segan semua padanya.
Ada satu cerita yang menurut saya lucu tapi membuat kak Jah sedih, yaitu mami mertua kak Jah yang tidak pernah menganggap keberadaan istri-istri anaknya yang lain kecuali kak Jah.
"Menantuku itu cuma kamu, bukan yang lain," begitu yang selalu dikatakan mami mertuanya. Kalau sedang berkunjung, hanya kak Jah yang akan disambut dan diajak ngobrol, yang lain dianggap tidak ada.
#ODOPOKT22

Poligami? Berani? (2)

Siapapun tidak mau dimadu, tidak mau suaminya menikah lagi, iyalah, apalagi kalau suaminya yang kegatelan pengen nikah lagi karena kepincut wanita lain, oh no no, hati istri mana yang tidak akan menjerit? Sudah pasti akan ditolak habis-habisan. Akhirnya nafsu jahat bertemu dengan nafsu jahat, perang deh!
Tapi bagaimana kalau yang minta menikah lagi adalah pemimpin? Pemimpin yang mau menyelamatkan seorang janda demi berubahnya sebuah status yang lebih terhormat?
Lagi-lagi teman saya yang mengalami poligami. Ya, saya memang hidup di lingkungan yang sebagian besar berpoligami, tapi semua suami-suami di lingkungan saya tidak ada satupun yang berpoligami karena kemauan sendiri.
"Kalau boleh memilih, saya gak mau menikah lagi, beraaat, tanggung jawabnya dunia akhirat, mendidik 1 istri aja udah berat, apalagi dua, tiga atau empat istri. Pening." Kurang lebih begitulah curhatan bapak-bapak yang sudah poligami di sini.
Ada satu teman saya yang suaminya disuruh mengambil tanggung jawab seorang janda yang ditinggal mati suaminya dan menanggung 2 anak. Meskipun berat, suami teman saya ini taat pada hasrat pemimpin. Selain janda, wanita yang dinikahinya itupun sudah berumur, jauh di atas umurnya.
Melihat kondisi yang seperti itu, teman saya dengan tulus ikhlas menerima kenyataan suaminya menikah lagi.
Apakah poligaminya lantas aman-aman saja? Ternyata oh ternyata, nafsu yang belum sepenuhnya terdidik yang lebih banyak berbicara.
Sang janda istri kedua ini punya pabrik garmen yang akhirnya diserahkan kepengurusannya pada sang suami. Akhirnya bisa merubah kehidupan mereka sebelumnya. Senang? Iyalah, secara materi memang senang, kebutuhan hidup tercukupi, susu anak tercukupi, bahkan jajan anakpun melimpah-limpah dari sebelumnya hidup susah. Namun ada konsekwensi yang harus dihadapi, yaitu semakin jarangnya suaminya pulang ke rumah karena harus mengurus pabrik. Pabriknya di Tangerang sedangkan istri pertamanya di Bogor. Pulangnya akhirnya paling cepat seminggu sekali. Nangis? Nangislah. Cemburu? Sudah pasti. Biarpun adik madunya lebih tua dan tidak lebih cantik dari dirinya, tetap saja membuatnya sesak nafas kalau membayangkan kebersamaan suami dan madunya.
Kalau bertemu tak saling tegur sapa, ibarat musuh, padahal masih satu keluarga. Jika suami berada di rumah istri pertama sang madu bolak-balik nelpon suaminya dengan alasan urusan pabrik, sedangkan sang istri pertama menelpon suaminya saat suami di Tangerang harus peras otak mencari alasan, dan biasanya alasan terampuh adalah curhat soal anak, yang anak sakitlah, yang anak nakalah atau anak jatuhlah, beragam alasan dibuat-buat.
Suaminya akhirnya pening hingga pada tahun 2009 menceraikan keduanya untuk dijadikan didikan. Hasilnya biarpun statusnya sudah bukan kakak adik madu lagi tapi ternyata mereka masih saling diam, gak saling tegur. Lucu ya?
Syukurlah di tahun 2010 suaminya merujuk kedua istrinya lagi meskipun belum berhasil berkasih sayang sampai sekarang, tapi ada perkembangan, mereka sudah saling tegur sapa meskipun sebatas say hello. Sebuah tanggung jawab pada Tuhanlah yang membuat suaminya merujuk kembali meskipun pening😅
#ODOPOKT21

Minggu, 22 Oktober 2017

Melahirkan Dibidani Suami

Masuk bulan Oktober entah mengapa dada saya begitu berat, apalagi mendekati tanggal 20. Tanggal itu adalah hari lahir Muhammad Al Fateh anak bungsu saya setahun yang lalu.
Setahun yang lalu, di tanggal 20 Oktober sejak ba'da Subuh sebenarnya saya sudah merasakn kontraksi, tapi karena mas suami baru pulang dari mendaki gunung Salak dengan kondisi badan beliau yang 'babak belur' : kaki bengkak dua-duanya, badan untuk ruku saat salat aja miring-miring karena sakit dan tangannya yang sakit, akhirnya membuat saya tidak mengutarakan keinginan saya untuk periksa. Siapa sih yang tega melihat kondisi suami seperti itu?
Nyatanya sampai lepas Isya belum ada kontraksi yang lebih hebat lagi, hanya sekali-sekali. Sampai akhirnya sekitar jam 9 malam baru terasa kontraksi yang lebih kuat. Saya bolak-balik ke kamar mandi memastikan bahwa rasa mulas saya ini benar-benar kontrakasi, bukan mules karena kebanyakan makan pedes😅
Suami yang sudah istirahat selepas Isya karena kondisi badannya yang kurang fit, tiba-tiba terbangun, mendekati saya lalu setengah berbisik, "gimana? Udah kerasa ya?" Tanyanya. Ih, dari mana ya? Kan saya diem aja?
"Udah istirahat aja, Mas, aku gakpapa kok," sahutku berharap aku melahirkan saat kondisi suami sudah pulih.
Tiba-tiba rasa mendesak di bawah perut semakin terasa, aku terbirit-birit ke kamar mandi, namun rupanya mas suami mengikuti. Dia menunggu di luar kamar mandi dan bertanya apa yang kurasakan, dia mau mengantar ke bidan atau dokter, tapi aku menggeleng dan tiba-tiba tak mampu berjalan. Suami memapah ke kasur dan bisa ditebak apa yang saya lakukan? Saya mengedan sekuat tenaga karena sudah tidak kuat! Dorongan mengedan yang kuat membuat saya sudah tidak peduli apakah saya berhadapab dengan bidan atau suami sendiri. Suami berasa bidan😆
Alhamdulillah bayi putih gendut dan ganteng lahir dengan selamat di rumah. Kulitnya putih bersih dan langsung saya beri inisiasi menyusui dini. Alhamdulillah suami gaj perlu antar saya ke klinik atau rumah sakit dengan kondisinya yang masih kesakitan begitu. Namun akhirnya semua kerempongan itu dilakukan dari A sampai Z oleh mas suami, dari mulai memoting tali pusar, mengeluarkan ari-ari, memandikan bayi sampai menguvur ari-ari selesai malam itu juga, dibantu oleh anak-anak yang sudah beranjak remaja. Ini anak gadisku yang membantu lahiran sekaligus memvideokannya sambil berlinangan air mata :
 Dia si ganteng lucu kesayangan si sulung :

#ODOPOKT20

Poligami? Berani?

Salah seorang tema saya sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu menginginkan suaminya menikah lagi, bahkan dia sendiri yang mencarikan calon istri untuk suaminya. Sang suami sempat berkali-kali tidak mau dengan mengatakan belum siap, namun istrinya memaksa. Memangnya ada apa sih kok menyuruh suaminya nikah lagi? Padahak mereka keluarga bahagia lho, lengkap dengan ketujuh anaknya. Tapi teman saya ini keukeuh dengan kemauannya.
"Saya takut cinta saya ke suami melebihi cinta sama Allah dan Rasulullah. Kalau masih belum poligami saya gak bisa ngukur sejauh apa cinta saya ke suami dan sependek apa cinta sama sama Allah dan Rasul." Begitu ucapnya berulang-ulang. Alasan yang sungguh begitu menyulitkan suaminya untuk menolak.
Setelah suaminya menikah lagi, teman saya dan adik madunya itu kemana-mana berdua, ke pasar, masak, mengantar anak sekolah dan lain-lain dilakukan berdua. Teman saya itu bahkan sampai mengajari adik madunya semua kebiasaan suami, kesukaan suami sampai cara memijat yang disukai suaminya. Pokoknya kita yang melihat iri banget dibuatnya.
Sampai akhirnya adik madunya hamil, mulailah hatinya terasa sakit.
"Gak sanggup aku rasanya, gak sanggup," curhatnya pada kami.
"Yang sakit itu nafsu, terus lawan...lawan...sampai nafsu gak lagi menguasai," nasehat salah seorang dari kami.
Tak lama kemudian teman saya itu memberi kabar kalau dirinya hamil anak kedelapan padahal sebelumnya dia memastikan tidak akan berencana punya anak lagi setelah bungsunya lahir.
"Kehamilan ini membuat saya tenang, suami juga berimbang perhatiannya," ujarnya.
"Yang sakit itu sebenarnya nafsu, hamil lagi bukan solusi, yang penting kamu bisa melawan nafsumu itu, jihad yang paling besar melawan nafsu. Didiklah nafsumu itu, kalau terasa sakit, lawan! Minta bantuan Allah." Nasehat teman saya yang mendengar curhatannya. Oh iya, teman saya yang menasehati ini sudah memiliki 3 adik madu, dan sebelum kehidupannya aman damai seperti sekarang, mereka juga pernah mengalami huru-hara poligami.
Mendengar nasehat itu pecahlah tangisan teman saya yang baru poligami itu.
"Ternyata saya cemen, saya gak sekuat dugaan saya sendiri, saya belum kenal diri saya sendiri," ujarnya sesenggukan.
"Didik lagi, nafsu itulah yang membuat sakit, mujahadah lagi, lagi, lagi sampai kita mati." Nasehat itu semakin membuat teman saya meraung.
Mendidik nafsu memang bukan perkara mudah. Nafsu bukan untuk dihilangkan, tapi dididik. Kalau hilang, bagaimana kita ada selera makan? Bagaimana kita bisa memandang indah segala sesuatu yang cantik? Lawan nafsu kalau dia sudah mengajak pada kejahatan, karena sifat nafsu memang selaku mengajak pada kejahatan. Nafsu dan syetan selalu bekerja sama memperebutkan hati kita. Hati jadi rebutan malaikat dan syetan yang dibantu oleh nafsu.
Ending teman saya itu bagaimana? Setelah sempat huru-hara sampai pernah tidak serumah dengan adik madunya. Sekarang mereka hidup damai lagi dengan 8 anak dan tambah 2 anak dari adik madu. Hanya saja ada 1 kalimat dari suaminya yang selalu saya ingat yaitu : subhanallah setelah dimadu, istri saya yang manis dan baik hati ibarat kucing  persia berubah jadi garang seperti macan buas. Syukurlah sekarang sudah jadi kucing manis lagi, bahkan melesat jauh lebih baik dari sebelumnya, ibadahnya, perilakunya, nafsunya terdidik.
Poligami? Berani?
#ODOPOKT19

Fans Girl Kebablasan

Si sulung dapat pesanan membuat boneka salah satu grup boy band Korea. Sambil menggunting dan menjahit bahan dia curhat sama saya.
"Ini pesanan pembaca Wattpad Mbak, Mi," ujarnya. Dia terbiasa membahasakan dirinya dengan sebutan : mbak.
"Kok aneh ya, Mi, dia inikan umurnya udah 25, udah kerja tapi masih ada ngejomblo." Sambungnya lagi.
"Yah itu artinya jodohnya belum datang. Lagian Mbak kok ngurusin kehidupan pribadi orang?" Tanya saya.
"Bukan gitu, Mi, dia itu cantik, banyak yang suka, yang ngelamar juga udah banyak, tapi dianya gak mau." Sahut si sukung lagi.
"Kenapa?" Eh, jiwa kepo emaknya tiba-tiba muncul deh.
"Soalnya dia itu pengennya suami yang sama persis kayak idolanya, kayak Taeyong, yang lagi kubikin bonekanya ini lho, Mi." Mendengar jawaban si sulung, saya masih belum paham.
"Maksudnya sama gimana? Mukanya mirip? Atau sifatnya?"
"Ya semuanya, dia menjukuki dirinya tuh istri Taeyong, jadi cinta mati deh sama idolanya itu sampe gak mandang sama orang lain."
"Jadinya gimana?"
"Jadinya dia gak punya keinginan nikah sama orang lain, Mi. Pengennya sama Taeyong aja."
"Serius itu?"
"Iiiih Umi mah, ya serius atuh," sahut si sulung gemas melihat saya masih terbengong-bengong.
Mengorbankan masa depan demi sebuah khayalan yang terlalu jauh dari jangkauan, biarpun mungkin saja terjadi, tapi rasanya itu terlalu konyol. Kenal dengan idolanya memang sudah khatam, kenal luar dalamlah, tapi apakah yang diidolakannya juga kenal sama yang disebut fans girl ini? Jangankan artis Korea, artis dalam negeri saja susah mau kenalan, apalagi kenal luar dalam dan berharap jadi pendamping hidup. Asli sampai sekarang saya tidak bisa memahami jalan pikiran customer anak saya itu yang saat saya seumuran dengannya sudah hampir melahirkan anak ketiga. Kalau masih seumuran anak saya sih saya masih bisa maklum, nah kalau sudah masuk angka 25? Cuma bisa geleng kepala.
Taeyong siap meluncur 
Ada juga yang berperih-perih nabung padahal pendapatan orang tuanya pas-pasan demi untuk beli albumnya.
"Mbak mah sayang Mi uang segitu cuma buat beli album, mana nabungnya lama, aneh ih."
"Mbak bakalan kayak gitu juga gak?" Tanyaku menyelidik.
"Ya gaklah, Mi. Mbak masih waras hehe." Masih banyak lagi bocoran cerita soal fans girl ini dari anak saya. Insya Allah nanti dilanjut lagi😊
#ODOPOKT18


Jumat, 20 Oktober 2017

Sabar Dengan Ujian

Ujian dari Allah yang selalu menimpa kita seperti miskin, sakit, kamatian, kekurangan, dan lain-lain kesusahan dan penderitaan adalah peluang yang Allah berikan untuk kita untuk bisa bermujahadah. Semakin tinggi taraf iman seseorang, semakin banyak pula ujian yang Allah datangkan.
Bila jiwa dihimpit oleh kesusahan-kesusahan, artinya nafsu yang tersiksa. Nafsu bakhil, sombong, penakut dan lain-lain mazmumah itu jadi sakit dan tersiksa setiap kali ditimpa ujian. Siapa saja baik orang Islam maupun bukan Islam pasti merasakan hal ini. Bagi orang-orang yang beriman dia sadar maksud Allah berbuat begitu. Setiap kali ditimpa ujian dia segera memberitahu hatinya bahwa kalau dia sabar dan ridlo dengan ujian itu pasti akan mendapat salah satu hadiah dari Allah yaitu penghaousan dosa atau kasih sayang Allah dan derajat di syurga. 
Bila kita yakin sungguh-sungguh dengan hadiah dari Allah itu, pasti kita akan sanggup memaksa nafsu untuk tenang dan merasa tidak apa-apa dengan penderitaan itu. Kalau kita miskin, maka ingatlah saat di akhirat nanti hisab akan dikurangi dan dipercepat masuk syurga.  Ajaklah hati untuk menerima pemberian Allah itu dengan redho, tanpa kesal dan buruk sangka pada Allah. Yakinlah bahwa Allah Maha Tahu kenapa kita dimiskinkan. Kita sensiri lemah untuj memahami hakikatnya apalagi untuk menghindarinya. Ibarat baju yang tidak tahu kenapa kadang-kadang dicuci, kadang-kadang disetrika, kadang-kadang dijahit, kadang-kadang dipakai, bahkan kadang-kadang dibuang. Maka begitulah kita yang jahil tentang rahasia diri dan hati sendiri. Maka kita sendiripun seharusnya redho dan sabar dengan ketentuan Allah kepada kita.
#ODOPOKT17

Selasa, 17 Oktober 2017

Kisah Seorang Abid

Ada satu kisah seorang Abid rajin ibadah kepada Allah sholat, wirid, zikir selama 20 tahun istiqomah tidak putus-putus ketika satu masa berjumpalah sang Abid ini dengan seseorang yg nampak asing dan membawa satu buku cantik kemas. Bertanyalah Abid :Wahai saudara siapakah engkau sedang apa dsini dan buku apa yg kamu bawa itu.Lalu dijawab:Aku malaikat utusan Allah pembawa buku catatan para kekasih Allah. Sang Abid mulai tersenyum dan berkata:Bolehkah sy melihat catatan para kekasih Allah dibuku itu pastilah aku termasuk didalamnya karena sholat, wirid, zikir kepada Allah tdak pernah putus selama 20 tahun.Lalu dengan teliti malaikat melihat nama nama yg tercantum dalam buku tersebut. Nama anda tidak tercatat dibuku para kekasih Allah. Penasaran sang Abid :Cobalah lihat lagi mungkin namaku terselip. Malaikat cek lagi tp namanya tetap tidak tercatat sebagai kekasih Allah. Sedihlah sang Abid lesu wajahnya menangis sejadi jadinya bertanyalah sang Abid pada malaikat :Kenapa aku tidak termasuk dlm catatan para kekasih Allah sedang sholatku, wirid zikir selama 20tahun tidak pernah putus. Malaikat menjawab:Sesungguhnya sholat wirid zikir yg selama ini kamu amalkan hanyalah untuk dirimu sendiri sedang kamu tidak mengambil berat urusan ditengah masyarakat seharusnya sholat wirid zikir menjadi pegangan supaya lebih kuat lg bergelanggang ditengah masyarakat memberi banyak manfaat utk umat. Karena khalifah itu mesti kuat hubungan dengan Allah Rasul dan banyak memberi manfaat pada manusia. Tersentak lah sang Abid menangis sejadi jadinya memohon ampun pada Allah atas kesilapan selama ini karena hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau berkhidmat pd orang lain. Dalam Islam ada habluminallah dan habluminannas mesti seiring sejalan supaya semua yg kita amalkan ada nilai di sisi Allah. Semoga bisa mengambil hikmah dari kisah tersebut. Sebaik baik manusia adalah yg banyak memberi manfaat utk manusia lain.
#ODOPOKT16

Minggu, 15 Oktober 2017

Dosa Tak Terlihat

Sebagian dari kita yang tidak mengenal dirinya secara mendalam, bila tidak minum-minuman keras, tidak berzina, tidak berjudi, tidak membunuh, tidak menipu atau tidak melakukan dosa-dosa lahiriah lainnya maka hatinya merasa tenang dan senang. Dia merasakan dirinya sudah lepas dari dosa-dosa besar. Akhirnya dia memandang jijik dan menghina orang yang berbuat dosa-dosa besar tadi.
Padahal dia sendiri tidak menyadari kalau sombong sudah menjadi pakaiannya, riyak hiasan dirinya, ingin dipuji, pemarah, hasad dengki dan glamour menjadi tujuan hidupnya. Semua yang ada pada dirinya adalah dosa-dosa besar yang tersembunyi. Dia tidak sadar karena mata hatinya sudah buta biarpun dia mendapat gelar ulama.
Dosa-dosa lahir yang sempat terbuat mudah disadari oleh orang lain dan juga oleh si pembuat dosa itu sendiri, sehingga orang lebih mudah untuk merasa hina, lebih mudah untuk insyaf dan mudah untuk bertaubat. Tapi orang yang berbuat dosa-dosa besar yang batin, sulit sekali menyadarinya, bahkan dia merasa bersih dari dosa. Saya ingat dulu di setiap pelajaran agama dari sejak saya SD sampai kuliah memang tidak pernah dibahas soal dosa-dosa yang lahir ini. Dosa sendiri yang batin tidak nampak, giliran dosa-dosa orang lain sangat terlihat. Biasanya orang yang berbuat dosa batin jarang yang bertaubat karena tidak terlihat. Dia berdosa tapi tidak sadar kalau sedang berbuat dosa, akibatnya dosa-dosanya dibawa sampai mati, belum sempat bertaubat, suul khatimah tanpa disadari. Kemurkaan Allah yang akan menimpa, maka nerakalah akhirnya. Naudzubillahi mindzalik. Ini ingatan untuk diri saya sendiri😓
#ODOPOKT14

Sabtu, 14 Oktober 2017

Kisah Tentara Allah yang Taat pada Khalifah dan Wali



Menjelang tidur anak-anak seperti biasa nagih didongengin. Emaknya yang sedang kehabisan ide lalu bertanya apa saja yang menggelisahkan mereka. Ternyata mas Adib yang sudah kelas 2 SD bertanya tentang mengapa banyak bencana alam. Aha! Dari pertanyaan lugunya muncullah kisah khalifah dan seorang wali yang pernah emak tahu. mungkin belum menjawab lengkap pertanyaan mas Adib, tapi saya bersyukur malam itu stok cerita emak di kepala bisa nongol.
Diceritakan dalam kitab Kumpulan Keramat Para Wali bahwa di zaman Khalifah Sayidina Umar bin Khatab, suatu hari terjadi gempa bumi dahsyat di jazirah Arab. Kemudian Sayidina Umar bin Khatab memukul bumiyang sedang bergetar dengan tongkatnya sambil berkata, "wahai bumi, engkau hamba Allah dan aku khalifah Allah. Kenapa engkau bergoncang? Apakah aku pernah bertindak tidak adil terhadap engkau? Kalau tidak berhentilah bergoncang!"
Sungguh tindakannya di luar logika, namun ternyata setelah berkata seperti itu seketika bumi kembali tenang.
Bumi sebagai makhluk Allah ikut tunduk patuh kepada khalifah Allah sebagai wakil Allah di zaman itu. Dalam dunia wali, orang seperti ini disebut Sohibuzzaman yang kepadanya Allah mewariskan bumi. Begitulah hebatnya Allah, kalau Allah mengutus seseorang sebagai wakilnya di bumi, Allah bekalkan segala keperluannya. Bahkan tentara Allah seperti bumi, laut, air, angina, awan dan lain-lain Allah jadikan untuk menjadi makhluk yang taat kepada utusan Allah.
Cerita ini bukan saja berlaku pada para sahabat, namun juga para wali. Contohnya Tokku Paloh, wali terkenal di Trengganu Malaysia. Sewaktu Inggris datang hendak menjajah Trengganu, sepasukan tentara Inggris datang menemui Tokku Paloh. Mereka meminta ijin agar mereka bisa menempati Bukit Besar. Tokku Paloh lalu mengatakan kalau mereka boleh mengambil Bukit Besar dengan syarat bukit itu dibawa ke Negara mereka.
“Kalau mencampuri urusan pemerintahan kami, kami menolak. Kalau menginginkan tanah, silahkan ambil dan masukkan ke dalam kapal Tuan sebanyak apapun Tuan mau,” jawab Tokku Paloh. Mendapat jawaban seperti itu sudah pasti membuat tentara Inggris marah dan bangun dari duduknya, namun tak disangka kursi yang mereka duduki melekat di badan para tentara Inggris itu.
“Bukan hanya Bukit Besar itu saja yang kalian mau ambil, tapi kursi sayapun mau kalian ambil.” Kemudian atas ijin Allah kursi yang melekat dapat lepas kembali dan tentara Inggris pulang dengan rasa malu. Namun mereka tidak malu untuk datang lagi dan kembali berunding.di atas kapal perang mereka yang besar. Mengapa harus di atas kapal perang? Hal ini bertujuan agar bisa menakut-nakuti Tokku Paloh dan orang-orang Trengganu bahwa mereka bisa sewaktu-waktu menyerang kalau tidak menurut. Namun ternyata Tokku Paloh berkata kalau kapal perang mereka tidak akan mampu bertahan jika beliau naik. Tentara Inggris tertawa meledek. Lalu Tokku Paloh naik ke atas kapal, namun alangkah terkejutnya tentara Inggris, karena setiap kali Tokku Paloh memiringkan sorbannya ke kiri lantas kapal perang itu miring ke kiri, dan saat Tokku Paloh memiringkan sorbannya ke kanan, maka kapal itupun miring ke kanan. Keadaan itu sangat membuat tentara Inggris ketakutan hingga membatalkan perundingan itu. Hanya karena perintah rohani Tokku Paloh diterima, dipahami, ditaati oleh kapal dan laut, maka bergerak-geraklah kapal tanpa memerlukan perhitungan yang rumit atau alat lahiriah canggih seperti yang biasa digunakan oleh teknologi akal. 
Jika ada wali di muka bumi ini sekarang, tentara Allah akan menuruti segala perintah wali Allah itu. Pertanyaannya sudahkah ada lagi wali Allah di zaman ini? Sebelum pertanyaan emak terjawab, anak-anak sudah pulas. 
#ODOPOKT13

Jumat, 13 Oktober 2017

Perjumpaan dengan Sahabat

Sejak mengenal Facebook sekitar tahun 2009, orang pertama yang saya cari tentulah sahabat-sahabat terdekat. Namun sayang, setiap kali mencari setiap itu pula saya harus menelan kecewa.
Sampai sekitar akhir 2016 tiba-tiba dua sahabat yang saya cari itu meminta pertemanan di Facebook. Rasanya gimana? Tentu exited banget ya? Sampe gak habis-habisnya ngobrol bertukar kabar setelah 20 tahun hilang kontak.
Namun ada satu hal yang mengecewakan, yaitu salah satu sahabat yang akhirnya bertemu kembali itu ujung-ujungnya memprospek saya. Tahu dong rasanya diprospek? Rasanya jengah ya, apalagi sama sahabat yang sudah sekian lama tidak bertemu. Yang menyedihkan adalah setiap kali saya mencoba menghubungi dia untuk sekedar say hello atau bertukar kabar, lagi-lagi dia menanyakan saya udah ada niat belum untuk jadi member, dan karena sudah akrab dari dulu maka keluarlah kalimat-kalimat khas seperti : kerja itu bukan kerja keras tapi kerja cerdas, kalau kamu melewatkan kesempatan ini berarti kamu berada di antara orang-orang yang bodoh itu. Jangan menyesal kalau kamu lihat temanmu udah sukses sementara hidupmu masih terkatung-katung. Aaaargggghhh kenapa persahabatan yang indah itu harus dibumbui hal-hal bersifat materi seperti itu sih?
Namun pertemuan saya dengan sahabat saya yang satu lagi malah mengharu biru. Perubahan drastis dari gadis lugu yang tidak pernah bisa lepas dari tisue di setiap kesempatan, telah bertransformasi menjadi ibu rumah tangga solehah dan memiliki cahaya mata yang lumayan banyak meskipun masih lebih banyam saya 😅
Selain bertukar kabar saya dan sahabat saya ini banyaj bertukar pikiran dan ilmu-ilmu agama serta cara menyikapi berbagai hal. Dulu waktu masih sebangku dengan saya di sekolah anaknya susah sekali diajak diskusi (menurut saya), bahkan membicarakan pelajaranpun sedikit sekali. Jadi biarpun sebangku kami jarang ngobrol, anehnya pas udah emak-emak, jauh pula dia di Padangsidempuan dan saya di Bogor kami malah bisa ngobrol seru. Apalagi kalau ngobrolin teman-teman SMA atau tingkah anak-anak kami (anak saya 7 sedangkan anaknya 5) maka kami lupa deh mau nyupir, masak dan lain-lain (bagian ini harus jadi perhatian
 Ini dia sahabat saya yang hilang dan akhirnya bisa kembali bertemu :
Maafkan sobatmu yang sering nebeng buat pinjem komputer ya. Dulu saya belum punya komputer tapi sudah sering kirim tulisan dan dimuat di media massa. Pas tahu sahabat saya ini punya komputer, nebenglah saya ngetik di rumahnya, aturan aksi nongkrong saya di depan kompinya dilabeli banderol layaknya warnet ya, tapi dia mah gratisan, yang penting temannya hepi. Duh, kalau ingat masa-masa itu sedih, merasa bersalah banget. Syukur alhamdulillah Allah masih memanjangkan silaturahmi kami dengan bertemu kembali meskipun baru hanya di dunia medsos. Semoga Allah pertemukan kami juga di dunia nyata 😇
#ODOPOKT12


Kamis, 12 Oktober 2017

Calon Presiden




SEORANG lelaki sedang menjalani tes calon presiden tahun 2014. Tubuhnya yang masih gagah dan tegap meski usianya sudah memasuki kepala lima, ditambah air mukanya yang berwibawa dan bijaksana, menjadikannya layak memimpin negara dan bangsa Indonesia yang sudah karut-marut dan banyak masalah.
“Apa yang menjadikan Anda mencalonkan diri dalam Pilpres 2014 ini?” tanya salah seorang juri.
“Saya ingin memperbaiki Indonesia secara menyeluruh, nasib bangsanya, kekayaan alamnya, dan namanya di tingkat internasional. Saya ingin mengharumkan nama Indonesia dengan memperbaiki segala sistem yang sudah ada sekarang.”
“Anda yakin?”
“Yakin.”
“Apa modal Anda?”
“Keyakinan.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
“Tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi?”
“Tidak.”
“Mantap sekali Anda menjawab. Apakah Anda tidak tahu banyak mantan presiden yang mencalonkan diri lagi?”
“Saya tahu.”
“Tahukah Anda bahwa saingan-saingan Anda nanti adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dan kuat-kuat?”
“Saya punya kekuatan uang dan koneksi.”
“Baiklah, melihat kemantapan Anda, Anda seharusnya lulus, tapi sebelum kami meluluskan Anda ikut dalam Pilpres 2014 ini, kami akan ajak Anda menaiki karpet waktu.”
“Karpet waktu?”
“Ya, tidak usah banyak bertanya, ikuti saja kami.”
“Baik.”
Pada akhirnya seorang juri yang banyak bertanya tadi membawa lelaki itu ke dalam suatu tempat. Di tempat yang tersembunyi itu terdapat sebuah karpet merah mirip sebuah permadani. Lampu yang hanya lima watt menjadikan lelaki yang bermata rabun jauh itu tidak dapat jelas melihat detail karpet itu.
“Mari kita duduk di karpet itu!” ajak sang juri. Lelaki itu menurut.
“Anda tidak usah banyak bertanya, ikut saja.” Sekali lagi juri itu mengingatkan.
Meski sebenarnya merasa aneh dan merasa takut, lelaki itu menurut saja.
Dengan sedikit ragu, lelaki itu duduk mengikuti juri yang telah lebih dulu duduk bersila.
“Pejamkan mata!”
“Baik.” Lelaki itu pun memejamkan mata. Semakin ketakutanlah hatinya, namun tak bisa berbuat apa-apa, apalagi pintu ruangan dikunci. Hanya pasrah yang bisa dilakukannya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara bising sebuah mesin, padahal di ruangan itu hanya ada karpet. Lelaki itu terkejut, namun dia tak berani membuka mata.
Hanya sekitar satu menit suara mesin itu membisingkan ruangan, yang kini dirasakan lelaki itu dalam mata terpejamnya adalah sebuah ruangan terbuka dan semilir angin yang terasa panas.
“Bukalah mata Anda.” Perlahan, lelaki itu membuka mata. Betapa terkejutnya dia karena yang didapatinya adalah sebuah gurun pasir. Dan, tempatnya duduk adalah sebuah batu besar, bukan lagi karpet yang tadi.
“Kita berada pada masa pemerintahan Sayidina Umar bin Abdul Aziz.” Ucap sang juri menjawab keheranan lelaki itu.
“Siapa dia?”
“Beliau pemimpin negara yang adil. Setelah pemerintahan Khulafaur Rasyidin, tidak ada lagi pemimpin yang seadil beliau. Beliau sangat berhati-hati mengurus tanggung jawab yang diamanahkan padanya. Beliau amat takut kalau tidak dapat bersikap adil. Karena itulah beliau lebih mengutamakan keperluan rakyat daripada diri dan keluarga.”
“Memangnya masih ada pemimpin seperti itu setelah wafatnya Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin?”
“Sekarang kita lihat buktinya. Mari kita ke rumah beliau.” Sang juri mengajak lelaki itu berjalan.
“Salah satu kehebatan Khalifah Umar bin Abdul Azis yang luar biasa adalah beliau malah hidup miskin setelah diangkat menjadi khalifah. Anda tahu khalifah itu apa?”
“Semacam presiden di negara kita.”
Yap, Anda benar. Khalifah Umar menempati rumah yang hanya cukup untuk dirinya. Karena setelah diangkat menjadi khalifah, seluruh kekayaannya diberikannya pada baitul mal.” Papar sang juri membuat hati sang calon presiden kecut.
“Benar-benar ini rumahnya?” tanya lelaki itu tak percaya karena semula dia mengira akan melewati rumah gubuk itu dan menuju rumah yang lebih baik dari yang dilihatnya.
“Ya, ini benar-benar rumah beliau.” Sang juri memperlihatkan sebuah rumah yang teramat sangat kecil dan sederhana.
Lelaki itu mengintip dari balik jendela yang atapnya hanya terbuat dari daun kurma itu. Ternyata, di dalam rumah itu hanya terdapat sebuah cangkir, sebuah piring, dan sebuah alas lilin, tidak ada alas untuk tidur.
“Mari kita naik lagi ke karpet.” Ajak sang juri, lelaki itu menurut saja.
Tiba-tiba dua lelaki itu sudah dibawa ke tempat yang gelap.
“Di mana ini?” tanya sang calon presiden.
“Masih di tempat yang sama, tapi kita berada di malam hari.” Sahut sang juri.
Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang mendatangi rumah Khalifah Umar.
“Siapa?” tanya Khalifah Umar dari dalam rumah.
“Saya, Ayah,” jawab orang yang datang yang ternyata putranya.
“Ada apa?”
“Ibu menyuruh saya berjumpa ayah.”
“Untuk apa?”
“Membicarakan masalah keluarga.”
“Kalau begitu tunggu sebentar.” Sang calon presiden dan sang juri mengintip dari lubang dinding. Dilihatnya khalifah Umar meniup lilin satu-satunya yang ada di ruangan itu sehingga rumahnya menjadi gelap gulita.
Kemudian, Khalifah Umar membukakan pintu untuk anaknya.
“Mengapa gelap begini, Ayah?”
“Maafkan Ayah, anakku, rumah ini bukan milik kita dan lampu ini bukan milik kita. Oleh karena Ayah adalah pemimpin rakyat, Ayah wajib menjaga uang rakyat untuk kepentingan rakyat. Ayah tidak mau gunakan untuk kepentingan keluarga sehingga merugikan negara. Ayah takut di hadapan Allah nanti akan ditanya mengapa Ayah gunakan minyak rakyat untuk kepentingan keluarga.” Papar Khalifah Umar panjang lebar.
“Jadi, kalau aku ke sini untuk membicarakan masalah negara, ayah akan tetap menyalakan lampu, tapi kalau untuk membicarakan masalah keluarga ayah mematikan lampu?”
“Ya, kau benar anakku, masalah keluarga kan masalah pribadi, ayah tidak mau menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi,” ujar Khalifah Umar lagi.
Sang calon presiden dahinya berkerut, rasa kesal menyergapnya.
“Anda dengar itu? Anda paham?” tanya sang juri.
“Ya, tapi berlebihan sekali kalau hanya uang untuk lampu saja beliau tidak mau menggunakannya, padahal rakyatnya tidak akan menuntut kalau hanya sedikit.”
“Beliau tidak berlebihan, tapi terlalu berhati-hati.”
“Ah, mana ada manusia seperti itu? Ini pasti hanya dongeng.”
“Tidak, ini nyata, kalau tidak percaya akan aku tunjukkan kepemimpinan pemimpin-pemimpin lain yang patut dicontoh.”
“Tidak perlu, aneh, aku tidak percaya!” Sengit sang calon presiden lagi. “Ngomong-ngomong, mengapa tiba-tiba aku memahami bahasa Arab?”
“Karena dengan menaiki karpet ini, kita akan memahami semua bahasa di dunia.” Bisik sang juri kepada lelaki yang akhirnya termenung-menung.
“Kita naik lagi ke karpet,” ajak sang juri lagi.
Tak lama kemudian, mereka tiba kembali di kegelapan malam, masih di tempat yang sama.
“Dengar, beliau sedang menangis di atas sajadah,” bisik sang juri.
“Mengapa Ayah menangis?” tanya istri Khalifah Umar.
“Bagaimana aku tidak menangis? Aku telah diangkat menjadi raja kaum Muslimin dan orang asing. Yang sedang aku pikirkan sekarang adalah nasib orang-orang miskin yang kelaparan. Orang yang sakit, yang tak berpakaian dan menderita, yang tertindas, orang asing yang dipenjara. Mereka yang banyak anak, tapi miskin. Serta, mereka yang berada di tempat-tempat yang jauh. Aku merasakan, pada hari kiamat tentu aku akan ditanya oleh Allah keadaan mereka yang di bawah penguasaanku. Aku takut tidak ada pembelaan yang dapat membantuku. Karena itu aku menangis.”
“Anda dengar itu? Ayo, kita kembali naik ke karpet!”
Beberapa saat kemudian, dua lelaki itu sudah berada di tempat yang sama dalam keadaan terang.
“Ini sudah pagi,” ujar sang juri.
“Lihat ada yang datang,” seru sang calon presiden menunjuk pada seorang nenek. Nenek itu mendatangi rumah Khalifah Umar dengan tergesa-gesa.
“Demi Allah aku bermimpi aneh sekali.” Ujar nenek itu.
“Ceritakanlah mimpimu.” Kata Khalifah Umar.
“Aku bermimpi melihat neraka yang berkobar apinya. Dan, ada titian siratul mustaqim di atasnya. Kemudian, Abdul Malik bin Marwan dibawa di atas titian itu lalu jatuh ke neraka jahanam. Kemudian, dibawa al-Walid bin Abdul Malik moyang Anda, setelah hampir ke ujung kemudian dia jatuh. Kemudian, dibawa Sulaiman bin Abdul Malik, nasibnya pun begitu juga.”
“Teruskan… teruskan…,” ujar Khalifah Umar gundah, suaranya bergetar, kecemasannya menjadikan tubuhnya menggigil dan ketakutannya bisa dilihat oleh sang juri dan sang calon presiden..
“Setelah itu giliran Anda… saat giliran Anda… Anda, Anda masuk….”
Bug! Belum selesai si nenek bercerita, tubuh Khalifah Umar terjatuh.
“Ya Tuhan… ya Allah, aduh, bagaimana ini? Khalifah, khalifah, mengapa Anda? Ada apa dengan Anda?” Si nenek mengguncang-guncang tubuh Khalifah Umar dengan penuh cemas, sejurus kemudian berdatanganlah orang-orang mendekati tempat itu.
“Cepat kita kembali ke karpet!” Secepat kilat pula mereka sudah tiba di ruangan kosong lagi.
“Apa yang terjadi pada Khalifah Umar?” tanya lelaki itu penuh rasa ingin tahu.
“Beliau wafat karena takut dirinya juga menerima nasib yang sama dengan pendahulu-pendahulunya. Usianya masih 36 tahun dan beliau hanya memerintah selama dua tahun. Seluruh hartanya sebelum menjabat menjadi khalifah diserahkan semua ke baitul mal dan beliau hidup seperti rakyat biasa. Ketika beliau wafat, semua berdukacita, termasuk mereka yang bukan Islam. Terasa betapa makmurnya mereka hidup di bawah pemerintahan beliau. Kambing dan serigala yang saat pemerintahan beliau berbaikan, setelah beliau wafat bermusuhan lagi.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Karena beliau orang bertakwa, tak ada seujung rambut pun beliau punya kepentingan dunia, sekali pun sanjungan atau kehormatan, apalagi harta.”
“Maksud Anda, dia hanya punya kepentingan dengan akhirat?”
“Ya, dia merasa jadi pemimpin adalah amanat Tuhan yang harus dijalankannya dengan baik dan benar. Dengan penghormatan saja beliau merasa tersiksa, apalagi dengan harta.”
Sang calon presiden terdiam dan termenung.
“Apakah Anda siap menjadi presiden seperti beliau?” tanya sang juri.
Sang calon presiden tidak menjawab, dia malah tergugu menangis.
Lho, mengapa Anda malah menangis?”
“Ada apa saya ini? Tidak pernah terpikir sedikit pun dalam diri saya menjadi orang seperti beliau, bahkan tidak sedikit pun saya memiliki sifat seperti beliau, berani-beraninya saya mencalonkan diri.” Masih tergugu lelaki itu menjawab.
“Lantas?”
“Periode ini saya mengundurkan diri, saya ingin memperbaiki diri dulu dan juga memperbaiki niat saya mencalonkan diri jadi presiden. Atau, mungkin juga saya tidak berani-berani lagi mencalonkan diri menjadi presiden. Seumur hidup.”
“Memang seharusnya begitu,” batin sang juri dalam hati sambil tersenyum. “Kita sedang sangat membutuhkan pemimpin yang dipilih oleh Tuhan, bukan manusia.” (*)