Minggu, 13 Maret 2016

TIGA KALI MELAHIRKAN DI TANGAN ANGGOTA PASPAMPRES



Setiap kelahiran anak selalu punya cerita, begitu pula denganku. Yang teristimewa adalah kelahiran anak keempat sampai keenam karena ditolong abinya yang anggota Paspampres.
Saat merasakan kontraksi anak keempatku, waktu menunjukkan jam tujuh malam. Saat shalat Isya aku sudah mulai merasakan mulas. Namun karena suamiku baru saja turun dinas, maka aku tak memberitahukannya. Sampai saat kontraksi sudah semakin menjadi dan sudah  tiga menit sekali, suamiku terbangun sendiri demi mendenger nafasku yang tersengal menahan sakit. Beliau langsung bangun dan siap-siap mengantarkanku ke bidan. Namun aku sudah tak tahan lagi, dan nekat mengejan. Suamiku yang kaget berusaha tenang menerima bayi saat aku mengejan kedua kalinya. Bayiku langsung menangis kencang di dekapan ayahnya. Sadar apa yang harus dilakukannya, suamiku memberikan bayi kami padaku.
“Inisiasi menyusui dini dulu, ya, aku mau masak air,” ujarnya. Dalam kondisi belum diapa-apakan, kudekap  bayiku, kuselimuti lalu kucoba memberi asi walaupun belum keluar airnya. Beberapa saat kemudian suamiku datang lagi dengan membawa teh manis hangat, baskom kosong, baskom berisi air hangat, sabun bayi, dan kotak P3K. Aku masih memberikan IMD saat suamiku berusaha memancing ari-ari agar segera keluar dari rahimku. Alhamdulillah tidak butuh waktu lama saat aku merasa mules lagi sampai ari-arinya keluar. Rupanya baskom kosong itu dipakainya untuk wadah ari-ari. Setelah itu dia meminta bayinya untuk dimandikan. Aku tidak begitu memperhatikan apa saja yang dikerjakannya, yang pasti adek bayi sudah diserahkannya lagi padaku dalam kondisi bersih, wangi dan rapi dengan balutan bedong.
“Ari-arinya dipotong siapa?” Tanyaku heran.
“Ya dipotong abinyalah,” sahutnya tenang. Aku takjub. 
Suamiku lalu membereskan semuanya malam itu juga, bahkan menguburkan ari-ari sekalian. Selesai beres-beres jam setengah empat pagi, lanjut dengan qiyamul-lail. Setelah Subuh beliau menggendongku ke kamar mandi, air hangat sudah disiapkannya.
Saat melahirkan anak kelima beda lagi ceritanya. Aku sudah merasa kontraksi sejak seminggu sebelumnya, anehnya setiap sudah jam 12 malam, tiba-tiba kontraksinya langsung raib berganti rasa kantuk, padahal selama seminggu itu pula suamiku sengaja mengambiul cuti tahunan demi mantengin istrinya karena tidak mau kecolongan lagi seperti saat anak keempat.
Sore itu menjelang Maghrib tiba-tiba saja hujan turun deras. Aku sudah seminggu lewat hpl, dan sore itu aku sudah tak sanggup lagi saat mau siap-siap salat Maghrib. Suamiku ingin membawaku ke bidan, namun hujan tak juga reda. Saat adzan Maghrib berkumandang, rasanya aku sudah ingin mengejan, namun suamiku mengelus perutku sambil bilang,” sabar ya, jangan keluar dulu, tunggu Abi selesai salat dulu, ya?” Benar saja, setelah suamiku menuntaskan doa setelah salat, kembali rasa ingin mengejan menyerangku. Debaypun lahir setelah abinya siap menyambutnya.  
Masih dua minggu dari hpl saat kehamilan anak keenamku, namun malam itu aku sudah mulai merasa mulas setelah shalat Isya. Kupantau rasa mulasku yang jaraknya mulai mendekat.
“Mudah-mudahan bisa lahiran pas hari Pahlawan, ya, mas?" Candaku pada suami.
"Hari Pahlawankan besok?" Sahut suamiku.
Aku masih belum juga berani bilang, apalagi melihat kelelahan di wajah suamiku dan besoknya beliau harus berangkat jam empat pagi untuk upacara. Pikirku, iya kalau aku beneran mau melahirkan, kalau nggak kan kasihan suamiku.
Saat itu tanggal 9 November 2014, pukul sebelas malam kontraksi sudah lima menit sekali. Kulirik suamiku yang terlelap. Lagi-lagi aku ragu hendak membangunkannya. Sampai sekitar jam setengah duabelasan, suamiku terbangun dan mendekatiku.
"Kenapa belum tidur? Apa yang dirasakan?" Tanyanya. Aku hanya menggeleng, aku sudah tidak sanggup lagi bicara.
"Kenapa, Dek? Mules, ya? Udah kerasa mau lahiran?" Tanyanya lagi. Lagi-lagi aku hanya menggeleng.
"Aku mau buang air," jawabku menahan sakit, baru tiga langkah menuju kamar mandi, aku sudah tidak sanggup.
"Ayo kita ke bidan," suamiku memapahku kembali ke tempat tidur. Aku menggeleng.
"Kugendong, ya? Atau bidannya kupanggil ke sini," ujarnya lagi. Aku menggeleng karena memang sudah tak kuat menahan sakit. Suamiku yang penasaran memeriksa perut dan bagian bawahnya,"tuhkan sudah berdarah, sudah keluar darah, kamu sudah akan lahiran, ayo kita ke bidan!” Ujarnya panik. Aku tak sanggup menjawab, malah tiba-tiba saja ada keinginan kuat untuk mengejan, kontraksi yang kurasakan sudah tak terbendung lagi.
Akhirnya, setelah dua kali mengejan suara tangisan bayi terdengar keras sekali. Kami sama-sama tak menyangka kalau lagi-lagi harus menghadapi kelahiran di rumah tanpa ada orang medis.
 
  
Bottom of Form