Kamis, 23 November 2017

Mazmumah yang Menyelinap di Antara Muslimah dan Dunia Maya

Pernah gak sih setelah selesai kita berselancar di dunia maya khususnya media sosial, kita tiba-tiba merasa sedih gak jelas? Saya pernah. Setelah diingat-ingat menemukan apa saja di dunia maya utamanya media sosial itu? Saya lalu istighfar berkali-kali, karena ternyata kesedihan saya bukan dikarenakan melihat kesusahan atau kesedihan orang lain, bukan karena ada anak bayi lucu yang sakit, bukan karena ada teman yang sudah lebih dulu berpulang. Bukan, sama sekali bukan, kesedihan itu sungguh tak patut dan melintas begitu saja, bisa jadi baper berkepanjangan kalau tidak segera ditangkis dan dilawan. Memangnya apa sih yang bikin sedih? Bukan peristiwa memilukan, melainkan justru kesuksesan dan kebahagiaan teman-teman di media sosial! Mereka mengaku berbagi kebahagiaan, padahal sesungguhnya berbagi kesedihan untuk yang lain (itu yang terbetik dari hati yang belum insyaf😅).
Yang bikin sedih itu pertanyaan-pertanyaan dalam diri seperti:
- si fulan aja udah sukses, kamu kapan? Mau sampai mati begini-begini aja?
- si fulan tuh udah kesana-kesini, ke negara mana-mana, lha kamu nongkrongnya di rumah aja.
- si fulan tuh anaknya pada berprestasi semua, prestasi anakmu segitu doang?
- si fulan tuh tambah hari tambah kinclong ya? Lha kamu tambah hari malah tambah kusem dan tua. Dan masih banyak lagi kelebatan pertanyaan-pertanyaan itu dalam diri. Ya Allah, parahnya hati ini, degil.
Pernah gak sih ada yang samaan dengan saya?
Sudah tahu ilmunya kalau itu hasad dengki, mazmumah yang perlu dibumi hanguskan, tapi tetap saja mazmumah itu ada. Sampai mati-matian rasanya 'membunuh' mazmumah yang satu itu, tapi ternyata masih gagal.
Tapi ternyata oh ternyata saya sendiri membawa penyakit itu pada teman-teman dunia maya saya. Ada yang terang-terangan bilang kalau dia iri dengan kehidupan rumah tangga saya, iri dengan aktifitas saya di dunia tulis-menulis, dan macam-macam lagi. Saya jadi merasa aneh, andai mereka tahu dunia saya yang sesungguhnya, mungkin rasa iri itu akan seketika lenyap dari hatinya. Saya jadi merenung, mungkin sebenarnya kehidupan mereka seperti saya juga. Sepertinya bikin iri tapi toh kita tidak tahu pergolakan kehidupan mereka yang sebenarnya. Yang salah bukanlah unggahan mereka di media sosial, tapi karena hati kita yang 'sakit'.
Setiap pagi saya streeming kuliah kesadaran, ini salah satu hal penting yang membuat saya wajib punya hape atau laptop dan paket data. Di sana saya tercekat karena saya diingatkan bahwa hati saya yang 'sakit' itu dikarenakan salat saya yang masih tanda tanya. Salat itu seharusnya dapat membakar mazmumah, lalu salat macam apa yang selama ini saya kerjakan karena nyatanya mazmumah saya masih ada, belum terbakar sepenuhnya? Saya sampai menangis karena salat yang saya kerjakan hanyalah fisik semata. Masih belum membesarkan Allah dalam salat saya karena rasa gemetar takut ketika awal mau salat belum ada, karena rasa khusyuk hingga yang ada dalam pikiran hanya Allah, Allah dan Allah saja juga belum ada. Fisik sibuk sujud dan ruku, tapi hati sibuk perkara-perkara yang lain, ingat anak, ingat jemuran, ingat menu masakan. Aduh, Allah, rasanya malu sekali salat saya selama ini masih begitu adanya. Fisik menghadap Allah tapi hati buang muka dengan-Nya, ibaratnya saya sedang menghadap raja tapi saya buang sampah atau bahkan meludah di depan raja. Pantaskah? Sopankah? Tentu tidak! Dan itulah saya, masih di peringkat itulah ibadah saya. Pantaslah saya belum memiliki peribadi agung padahal salat itu membina peribadi agung, peribadi-peribadi seperti para sahabat yang begitu cinta pada Allah dan Rasul SAW, peribadi-peribadi seperti para tabiin, tabiut, tabiin tabiut dan para solafussoleh. Kalaulah semua orang mazmumah dalam hatinya sudah hancur lebur, tidak akan ada masalah-masalah di dunia ini. Karena yang jadi masalah sebenarnya adalah karena masih banyaknya mazmumah dalam diri, mazmumah yang mengantarkan kita untuk cinta dunia, hingga akhirnya muncullah berbagai masalah di dunia disebabkan karena cinta dunia.
Masalah-masalah yang muncul di dunia maya seperti itu jugalah, ada percikan sedikit api saja bisa jadi berkobar di mana-mana. Contohnya ada ide boikot anu, dishare, langsung deh meledak dan viral, terutama di kalangan emak-emak yang didominasi muslimah. Saya sampai pernah ikut-ikutan hingga ujungnya hape saya yang diboikot suami. The power of emak-emak ini memang nyata dan masif, tapi saya harap tidak mengedepankan emosi karena itu bersumber dari mazmumah yang belum terkendali. Ngeri...ngeri...

Kalau bagi saya, dunia maya teramat sangat membantu pekerjaan saya. Dulu sekitar tahun 2006 saya masih harus bolak-balik ke kantor redaksi majalah yang didominasi bapak-bapak, risih satu ruangan isinya bapak-bapak semua, hingga saya seringkali hanya mengambil materi yang harus saya kerjakan untuk kemudian disetorkan sore atau keesokan harinya, saya mengerjakannya di rumah, syukurnya bapak redaksinya mengabulkan permintaan saya ini, mungkin mereka sendiri terganggu dengan kehadiran muslimah di tengah mereka. Tapi setelah ada email, pekerjaan jadi super mudah, yang jelas revisi bisa langsung disampaikan tanpa saya harus bertatap muka, jadi syariat lebih terjaga.
Muslimah yang ngeblog sekarang ini sudah banyak sekali, kualitas tulisan mereka juga tidak diragukan, banyak informasi yang mencerahkan saya dapat, apalagi kalau sudah wisata kuliner dan jalan-jalan, hmmm berasa kita sendiri sedang berkunjung ke sana. Apapun itu, segala hal, segala macam, kalau kita bijak dalam menggunakannya, tentulah imbasnya juga akan baik, begitu pula di dunia maya ini dan muslimah sebagai penggunanya. Banyak hal-hal positif yang bisa kita dapat asal kita pintar-pintar memilihnya.
#PostinganTematik #BloggerMuslimahIndonesia

Tulisan ini diikutkan dalam postingan tematik Blogger Muslimah Indonesia


Kamis, 09 November 2017

Upaya Mempertahankan Birunya Langit

Menyadari perubahan langit Jakarta sebelum dan sesudah lebaran yang diunggah seseorang di media sosial membuat saya sedih. Sedih ingat generasi yang akan datang, sedih membayangkan apakah anak dan cucu saya masih bisa menikmati birunya langit?

Polusi di masa mendatang kemungkinan besar bertambah parah jika kita masih memiliki gaya hidup seperti sekarang, kurang peduli dengan lingkungan dan masa bodoh dengan apa yang kita gunakan, yang penting aku senang, mudah menjalani hidup, apalagi? Ah, rasanya terlalu egois jika pikiran kita sampai seperti itu. Seperti halnya dalam menggunakan bahan bakar yang menjadi salah satu penyumbang polusi udara.
Berbagai upaya dilakukan Pertamina untuk meminimalisasi pencemaran udara dan lingkungan ini. Salah satunya adalah dikeluarkannya bahan bakar baru yang lebih ramah lingkungan dan merawat mesin kendaraan. Produk inovatif ini diberi nama Pertamina Envogas. Produk ini merupakan produk CNG (Compressed Natural Gas) atau Gas Alam Terkompresi. Komposisi gas metana (CH4) mempunyai fraksi yang lebih ringan dari udara. Hal ini membuat CNG akan terlepas ke udara seketika, sehingga relatif lebih aman daripada Bahan Bakar Minyak. Apakah mudah menyuruh masyarakat mengganti sesuatu yang sudah menjadi konsumsi harian selama puluhan tahun? Apakah tidak sulit membujuk masyarakat berpindah pada sesuatu yang baru meskipun sudah diiming-imingi banyaknya kebaikan yang akan didapat? Sudah pasti itu jadi pekerjaan yang berat. Pertamina harus bekerja keras demi mensosialisasikan penggunaan energi baru yang jauh lebih ramah lingkungan ini. Banyak pekerjaan rumah yang harus dipikirkan dan dikerjakan demi terciptanya langit yang masih biru di masa generasi yang akan datang.
Apakah lantas hal ini hanya menjadi tugas Pertamina saja? Tentu saja tidak, sebagai salah satu bagian dari masyarakat, kita juga harus turut andil menyuarakannya. Cara paling efektif untuk saat ini adalah melalui media sosial, namun tidak menutup kemungkinan dengan cara kuno yaitu dari mulut ke mulut, memberi edukasi dan sosialisasi tentang kelebihan-kelebihannya, misalnya penggunaan CNG jauh lebih bersih dan ramah terhadap lingkungan dibandingkan dengan Bahan Bakar Minyak karena menghasilkan emisi yang lebih sedikit yaitu 1/3 kadar emisi BBM. Selain itu dengan kandungan oktan (RON - Research Octane Number) sebesar 120, CNG juga mampu menghasilkan pembakaran yang lebih bersih, sehingga mesin kendaraan lebih awet dengan perawatan yang efisien.
Kalau masih belum mempan juga bagaimana? Sepertinya 'pemaksaan' penggunaan Envogas ini bisa diterapkan, mengambil pelajaran dari konversi dari minyak tanah ke gas, yaitu dengan dibuat langkanya minyak tanah di pasaran. Bisa jadi pengurangan persediaan Bahan Bakar Minyak di pasaran bisa 'memaksa' kita menggunakan Envogas.
#GenLangitBiru

Penampakan langit di kampung halaman suami yang tak sebiru saat kami kecil dulu