Setiap kelahiran anak selalu punya cerita, begitu
pula denganku. Yang teristimewa adalah kelahiran anak keempat sampai keenam
karena ditolong abinya yang anggota Paspampres.
Saat merasakan kontraksi anak keempatku, waktu
menunjukkan jam tujuh malam. Saat shalat Isya aku sudah mulai merasakan mulas.
Namun karena suamiku baru saja turun dinas, maka aku tak memberitahukannya.
Sampai saat kontraksi sudah semakin menjadi dan sudah tiga menit sekali, suamiku terbangun sendiri
demi mendenger nafasku yang tersengal menahan sakit. Beliau langsung bangun dan
siap-siap mengantarkanku ke bidan. Namun aku sudah tak tahan lagi, dan nekat
mengejan. Suamiku yang kaget berusaha tenang menerima bayi saat aku mengejan
kedua kalinya. Bayiku langsung menangis kencang di dekapan ayahnya. Sadar apa
yang harus dilakukannya, suamiku memberikan bayi kami padaku.
“Inisiasi menyusui dini dulu, ya, aku mau masak
air,” ujarnya. Dalam kondisi belum diapa-apakan, kudekap bayiku, kuselimuti lalu kucoba memberi asi
walaupun belum keluar airnya. Beberapa saat kemudian suamiku datang lagi dengan
membawa teh manis hangat, baskom kosong, baskom berisi air hangat, sabun bayi,
dan kotak P3K. Aku masih memberikan IMD saat suamiku berusaha memancing ari-ari
agar segera keluar dari rahimku. Alhamdulillah tidak butuh waktu lama saat aku
merasa mules lagi sampai ari-arinya keluar. Rupanya baskom kosong itu
dipakainya untuk wadah ari-ari. Setelah itu dia meminta bayinya untuk
dimandikan. Aku tidak begitu memperhatikan apa saja yang dikerjakannya, yang
pasti adek bayi sudah diserahkannya lagi padaku dalam kondisi bersih, wangi dan
rapi dengan balutan bedong.
“Ari-arinya dipotong siapa?” Tanyaku heran.
“Ya dipotong abinyalah,” sahutnya tenang. Aku
takjub.
Suamiku lalu membereskan semuanya malam itu juga,
bahkan menguburkan ari-ari sekalian. Selesai beres-beres jam setengah empat
pagi, lanjut dengan qiyamul-lail. Setelah Subuh beliau menggendongku ke kamar
mandi, air hangat sudah disiapkannya.
Kelahiran anak kelima beda lagi ceritanya. Aku sudah
merasa kontraksi sejak seminggu sebelumnya, anehnya setiap sudah jam 12 malam,
tiba-tiba kontraksinya langsung raib berganti rasa kantuk, padahal selama
seminggu itu pula suamiku sengaja mengambiul cuti tahunan demi mantengin
istrinya karena tidak mau kecolongan lagi seperti saat anak keempat.
Sore itu menjelang Maghrib tiba-tiba saja hujan
turun deras. Aku sudah seminggu lewat hpl, dan sore itu aku sudah tak sanggup
lagi saat mau siap-siap salat Maghrib. Suamiku ingin membawaku ke bidan, namun
hujan tak juga reda. Saat adzan Maghrib berkumandang, rasanya aku sudah ingin
mengejan, namun suamiku mengelus perutku sambil bilang,” sabar ya, jangan
keluar dulu, tunggu Abi selesai salat dulu, ya?” Benar saja, setelah suamiku
menuntaskan doa setelah salat, kembali rasa ingin mengejan menyerangku.
Debaypun lahir setelah abinya siap menyambutnya.
Masih dua minggu
dari hpl saat kehamilan anak keenamku, namun malam itu aku sudah mulai merasa
mulas setelah shalat Isya. Kupantau rasa mulasku yang jaraknya mulai mendekat.
“Mudah-mudahan
bisa lahiran pas hari Pahlawan, ya, mas?" Candaku pada suami.
"Hari Pahlawankan besok?" Sahut suamiku. Aku masih belum juga berani bilang, apalagi melihat kelelahan di wajah suamiku dan besoknya beliau harus berangkat jam empat pagi untuk upacara. Pikirku, iya kalau aku beneran mau melahirkan, kalau nggak kan kasihan suamiku. Saat itu tanggal 9 November 2014, pukul sebelas malam kontraksi sudah lima menit sekali. Kulirik suamiku yang terlelap. Lagi-lagi aku ragu hendak membangunkannya. Sampai sekitar jam setengah duabelasan, suamiku terbangun dan mendekatiku. "Kenapa belum tidur? Apa yang dirasakan?" Tanyanya. Aku hanya menggeleng, aku sudah tidak sanggup lagi bicara. "Kenapa, Dek? Mules, ya? Udah kerasa mau lahiran?" Tanyanya lagi. Lagi-lagi aku hanya menggeleng. "Aku mau buang air," jawabku menahan sakit, baru tiga langkah menuju kamar mandi, aku sudah tidak sanggup. "Ayo kita ke bidan," suamiku memapahku kembali ke tempat tidur. Aku menggeleng. "Kugendong, ya? Atau bidannya kupanggil ke sini," ujarnya lagi. Aku menggeleng karena memang sudah tak kuat menahan sakit. Suamiku yang penasaran memeriksa perut dan bagian bawahnya,"tuhkan sudah berdarah, sudah keluar darah, kamu sudah akan lahiran, ayo kita ke bidan!” Ujarnya panik. Aku tak sanggup menjawab, malah tiba-tiba saja ada keinginan kuat untuk mengejan, kontraksi yang kurasakan sudah tak terbendung lagi. Akhirnya, setelah dua kali mengejan suara tangisan bayi terdengar keras sekali. Kami sama-sama tak menyangka kalau lagi-lagi harus menghadapi kelahiran di rumah tanpa ada orang medis. Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Hamil dan Melahirkan ala Bunda Salfa |
Wah..serux ya bund, punya 6 putra putri.semoga mereka jd anak anak yg sholeh
BalasHapusAamiin makasih Bun.
Hapusmantap banget deh
BalasHapusBenar-benar mak nyosss
Hapushuaaaaaa kerenn.....alhamdulillah bisa melahirkan sendiri dirumah juga ya mak ^^
BalasHapusIya Mak alhamdulillah, rezeki Allah Maha Luas, nggak mesti harus berbentuk materi
HapusSubhanallah, benar2 buah hati abi dan ummi :))
BalasHapusIya Bun alhamdulillah
BalasHapus