Kalau membicarakan tentang first love, aku selalu merasa geli sendiri, soalnya saat itu aku
masih kelas 4 SD, usia yang terbilang masih unyu banget kalau dibandingkan
teman-teman sebayaku waktu itu. Pada saat itu sepertinya belum ada anak-anak
seusiaku yang tertarik melirik lawan jenis, tidak seperti sekarang yang anak SD
saja sudah kenal pacaran. Jaman aku dulu, seusiaku masih asik main
masak-masakan, bermain peran, main bekel, main conglak dan permainan perempuan
lainnya, sedangkan anak laki-lakinya masih senang main layangan, main kelereng,
dan lain-lain. Antara anak laki-laki dan anak perempuan masih sering berantem,
sama sekali tidak ada ketertarikan antara satu sama lain.
Di saat kakak dan adikku masih senang main, aku main
sekedarnya saja. Entah kenapa sejak kecil aku tidak pernah keranjingan main, aku
ikut main hanya beberapa menit saja, selanjutnya aku lebih senang menghabiskan
waktu dengan membaca. Bukan hanya majalah dan novel anak-anak, tapi majalah
wanita dan novel-novel orang tuaku ikut kulahap jika bahan bacaan anak-anak
sudah habis. Novel setebal Para Priyayi-nya Umar Kayam saja habis kubaca dalam
waktu beberapa hari saja, apalagi novel Jalan Tak Ada Ujung-nya Mochtar Lubis
yang tidak sampai sehari sudah selesai kubaca. Sampai-sampai aku pernah
keranjingan baca novel, meskipun saat di pasar buku bekas aku lebih memburu
novel-novel Enid Bylton. Mungkin hal
itulah yang menyebabkan aku sedikit banyak sudah mengerti soal dunia orang
dewasa, termasuk hubungan lawan jenis.
Yang lucunya, first
loveku itu kukagumi dalam kondisi yang bisa dibilang nggak banget deh,
bayangkan saja aku melihatnya pertama kali saat dia berada di atas kerbaunya
dengan hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada, saat itu kami sedang
berkunjung ke rumah Simbah di Purworejo. Dan si penggembala kerbau itu adalah
tetangga budeku. Entah mengapa aku senang saja memperhatikan anak laki-laki di
atas kerbau itu, diriku bilang kalau anak itu keren banget.
Alhasil meski malu-malu, aku tongkrongin juga anak itu
setiap sore. Dengan menenteng buku, aku duduk manis di teras rumah bude,
berharap si dia kembali dengan kerbaunya yang kinclong. Sepertinya anak itu
akan memandikan kerbaunya karena perginya ke arah sungai. Saat bayangannya
muncul dari kejauhan, deg-degannya bukan main, sambil pura-pura baca, aku terus
mengawasinya. Aih kalau ingat, akukan masih SD, diapun sama, hanya saja sudah
kelas 6. Kalau kerbaunya sudah dikandangkan dan masuk rumah, baru deh aku
pelan-pelan ke rumahnya, mengetuk warungnya pura-pura mau beli es. Ibunya
memang buka warung dan menjual beraneka ragam jajanan anak-anak. Sambil beli
es, aku berharap bisa melihatnya lagi, namun harapan itu tak pernah terwujud
karena anaknya pemalu.
Akhirnya perkenalan dengan cinta pertamaku tak pernah
terjadi, meskipun berkali-kali aku ikut ibu pulang kampung ke rumah simbah,
namun aku tak pernah menjumpainya. Rasa kecewa ada, namun sudah tersapu-sapu
dengan banyak peristiwa lain.
Bahkan sampai berbelas tahun kemudian bahkan aku sudah
melupakannya, apalagi sejak simbah putriku meninggal di kala aku kelas satu
SMA, aku tak pernah lagi ikut ibu pulang kampung. Tak ada cinta lain yang
mengiringi sampai ada seseorang yang
mengajakku kenalan via surat. Dia menemukan tulisanku yang dimuat di majalah
remaja. Tahun 90-an belum jamannya hape
dan media sosial. Maka berkorespondenlah kami sampai kurang lebih 3 bulanan. Meski
hanya melihat wajahnya melalui foto, rasanya sudah senang sekali, bahkan
deg-degan setiap kali mau membuka suratnya.
Tanggak 3 Agustus 1997 di saat rumahku akan mengadakan
arisan keluarga, tiba-tiba teman korespondenku ini datang berkunjung tanpa
konfirmasi sebelumnya. Datang jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung hanya karena
penasaran ingin kopdar dengan sahabat penanya. Saat baru tiba dia terkejut karena merasa
sudah familiar dengan wajah bapakku. Saat melihat ibu, kakak dan adik-adikku,
dia semakin yakin kalau aku bukanlah orang asing. Dia merasa mengenali
wajah-wajah kami. Namun sat giliran bertemu denganku, dia malah baru pertama
kali itu melihatku. Setelah berbincang agak lama, barulah ketahuan kalau
ternyata dia adalah tetangga budeku, anak pemilik warung yang setiap sore
menggembala kerbau dan memandikannya. Saat
satu persatu anggota arisan yang notabene masih keluarga berdatangan, semakin
jelaslah bahwa sahabat penaku ini bukan orang lain. Ya Tuhan, dunia begitu
kecil.
first loveku inilah yang jadi suamiku |
Artikel ini diikut sertakan dalam "My First Love Giveaway" Aprint Story
Waah..ga nyangka ya mbak, anak yang suka duduk diatas kerbau itu jadi pasangan hidup. Dunia memang selebar daun kelor...:)
BalasHapusBener banget mbak. Banyak kejutan-kejutan hidup yang seringkali nggak terbayangkan sebelumnya. Makasih udah mampir.
HapusYa ampuuunnn mmakkk, bisa gt ya...nggak nyangka ya....keren wessss :)
BalasHapusIya Mak emang bener-bener bikin geger waktu itu. Kirain orang jauh gak tahunya...
HapusHihihi memang jodoh Ga kemana ya 😀
BalasHapusSalam kenal mak
Betul mak dan tak terduga. Salam kenal juga Mak
HapusWaw... amazing... kyk sinetron :)
BalasHapusIya mak, sinetron 90-an he he
HapusWah....surprise banget ya bida berjodoh dgn first love-nya... Kayak cerita sinetron.. Smga langgeng sampai kakek nenek ya...
BalasHapusAamiin, makasih mak
BalasHapus