Seringkali ada penyesalan dan sedih yang mendalam jika
melihat teman-temanku saat sekolah maupun kuliah dulu. Sepertinya mereka
bahagia banget dengan kehidupannya. Lantas aku bertanya, apakah aku tidak cukup
bahagia? Sebenarnya bukan itu intinya,
namun seringkali aku merasa terkurung dengan rutinitasku di rumah.
Sejak memutuskan untuk tidak mengajar lagi di sebuah sekolah
swasta sejak dua tahun lalu, dan juga dari penerbitan, aktifitasku 100% adalah
di rumah. Keputusan berhenti juga amat terpaksa karena aku mengalami kecelakaan
yang mengakibatkan kakiku cacat dan harus menggunakan kruk. Sebelumnya kukira
aku akan banyak bisa melakukan aktifitas menulisku yang seringkali tertunda
karena sudah disibukkan mengajar, tapi pada kenyataannya, aku lebih banyak
menghabiskan waktu dengan urusan rumah. Entah mengapa sepertinya pekerjaan
rumah tak pernah ada habisnya. Ada saja yang harus kukerjakan. Sayang rasanya
menghabiskan waktu di depan kompi sementara pekerjaan rumah menanti. Namun jika aku menemukan tulisan teman-teman yang
nongol di media atau tulisan yang bahasanya canggih di status FB ataupun di
blog, aku bisa benar-benar marah pada diri sendiri, aku menyesal kenapa aku
selalu ketinggalan, aku bertanya kemana saja aku selama ini, bukankah menulis
sudah jadi hobiku sejak kecil, bahkan tulisanku sudah sering dimuat media sejak
SMP, namun kini rasanya tertinggal jauh sekali. Hasil tulisanpun serasa hambar
walau sudah peras otak. Aku merasa bodoh, pemalas dan lelet, lambat dalam
mengerjakan apapun.
Jika sudah merasa benci pada diri sendiri seperti itu, aku
lalu akan bermain dengan anak-anakku, aku meyakinkan pada diri sendiri kalau
aku bukanlah pemalas, aku memaksakan diri memaklumi diri sendiri bahwa bukan
hal mudah mengurus 6 anak, 3 yang sudah menjelang dewasa harus dituntun dan 3
yang masih kecilnjuga masih harus diasuh. Aku bukan hanya sebagai ibu, namun
juga guru bagi mereka. Jika kesedihanku belum juga tuntas, aku biasanya akan
masak, masak apa saja selagi bahannya ada. Aktifitas memasak seringkali bisa
menghiburku, apalagi jika suami dan anak-anak menyenangi masakanku. Itu adalah
hiburan terbesar.
Aku yakin, suatu saat hiruk pikuk ini berakhir hingga aku
bisa duduk manis dan kembali menulis. Memaksakan menulis pada saat ini adalah
ibarat dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, tangisan bayi, kerewelan anak, dan
lain-lain. Namun harus tetap kusyukuri karena aku masih bisa menulis.
Pernah sesekali merasa drop, maka buku-bukulah yang akan
kucari, utamanya adalah buku agama. Sambil menyusui aku akan memaksakan diri
membaca, di sela-sela mengajari anak-anak juga akan kuulang bacaan-bacaan yang
sebenarnya sudah kuhapal namun serinkali terlupa jika mood sedang tidak bagus.
Meski tidak langsung sekali duduk habis kubaca, buku-buku itu sangat membantu.
Intinya, aku adalah hamba, hamba yang segala pergerakannya sudah diatur oleh
Tuhan, kita hanya diwajibkan berusaha, dan sebenarnya tidak ada yang sia-sia.
Jika sudah begitu, akan sangat bisa memaafkan diri sendiri dan menerima diri
ini apa adanya.
Postingan ini untuk mengikuti giveaway echaimutenan
Postingan ini untuk mengikuti giveaway echaimutenan
Semangat mbak. Mencintai diri sendiri memang sangat penting. Karena dari sana, kita bisa mencintai orang disekeliling kita. Salam kenal mak :-)
BalasHapusBetul Mbak, kalau sama diri sendiri aja udah benci, gimana mau mencintai sekitar kita ya? Salam kenal juga Mbak.
HapusSegala sesuatu yg terjadi pd diri kita adalah kehendak dari Yg Maha Kuasa... Kita ditakdirkan utk ikhlas dlm menjalani kehidupan yg telah digariskanNya.. InsyaAllah kita bisa berdamai dgn diri kita sendiri Makk..
BalasHapusIya Mak, kalau nggak ingat itu emang rasanya hidup dalam kemeranaan. Allah jadi pegangan tu insha Allah bikin semangat hidup bergairah lagi.
HapusMemang rasa benci atau marah akan keadaan diri sendiri membuat kita kehilangan rasa percaya diri, bahkan semakin membuat kita untuk membenci diri sendiri. Hanya kepasrahan diri kepada Allah sambil mengucap syukur atas nikmat yang diberikanNya bisa jadi benteng untuk bertahan dari terpaan itu.
BalasHapusBetul mbak, tapi seringkali rasa minder itu lebih kuat daripada keyakinan kita pada Allah.
HapusAlhamdulilah ya atas nikmat Allah..putra-putri 6..masih tetap semangat melayani mereka satu persatu. Intinya Ikhlas menjalaninya.
BalasHapusIya Mbak justru merekalah yang jadi semangat saya
BalasHapusOrang Jawa bilang sawang sinawang mak. Saya juga iri dengan teman yang sudah keliling dunia dan beli apartemen dekat Sudirman Jkt. Tapi saya coba lihat dari sisi lain, pengorbanannya pun tak sedikit sehingga smp skrg belum menikah padahal umur kami sudah dalam batas bahaya untuk melahirkan. Saya bersyukur sudah punya anak2 penerus keturunan saya meskipun saya tidak bisa kemana-mana.
BalasHapusBe your self mak kt org2 bijak...heheheh... toh setiap manusia ada plus minus... kdng kita sendiri tdk/blm mengenali kelebihn kita :)
BalasHapusBe your self mak kt org2 bijak...heheheh... toh setiap manusia ada plus minus... kdng kita sendiri tdk/blm mengenali kelebihn kita :)
BalasHapusNice
BalasHapus