Senin, 29 Mei 2017

Kehangatan di Perumahan Paspampres



Saat awal pindah ke Perumahan Paspampres Cileungsi pada April 2001 lalu, ada kekhawatiran yang besar dalam diri saya mengenai pergaulan dengan warganya yang mayoritas berisi anggota keluarga Paspampres. Kekhawatiran saya beralasan karena sejak kecil sudah sering disuguhi cerita yang ‘seram-seram’ dari komplek TNI secara umum.
Namun kala kami baru beberapa menit melepas penat setelah perjalanan dari Bandung ke Cileungsi, beberapa ibu-ibu mengetuk pintu untuk menyapa dan berkenalan. Alangkah lega dan bahagianya saya karena kekhawatiran saya tak terbukti. Bukan sekedar menyapa, ibu-ibu yang kesemuanya adalah istri anggota Paspampres itu juga menyambut amat baik kehadiran kami di situ.
“Kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan minta tolong sama kita-kita,” ujar ibu yang terlihat lebih dewasa usianya.
“Iya, ketok pintu aja, pasti kami buka biarpun tengah malam,” sahut yang lain. Tawa kamipun berderai. Leganya saya karena di hari pertama sudah disambut dengan hangat.
Beberapa minggu menjalani aktifitas di perumahan itu, membuat saya hapal dengan rutinitas ibu-ibunya. Pagi-pagi setelah Subuh, kurang lebih pukul 5 setelah truk atau bis jemputan berangkat, sebagian kecil dari kami akan langsung meluncur ke tukang sayur yang lebih akrab disapa bude sayur. Saya memilih belanja pagi karena anak saya yang masih balita sedang lelap, sehingga saya bisa bebas melakukan aktifitas domestik. Sekitar pukul sembilanan pagi, beberapa ibu-ibu akan sudah berjejer di kursi bambu panjang yang entah sudah ada di sana sejak kapan, kalau tidak beberapa ngobrol di teras salah satu rumah. Namun kebiasaan ini berubah seiring bertambahnya usia anak, anak-anak yang mulai sekolah akan diantar ibunya sedangkan yang sudah besar sedikit sudah tak lagi diantar, sehinga ada pergeseran ibu-ibu yang melepas penat di kursi bambu itu. Saya sendiri memilih tidak tiap hari menjalani rutinitas itu, karena ada kegiatan lain yang lebih banyak menyita waktu, seperti menulis, membaca, merajut atau menjahit pakaian anak dan yang pasti bermain dengan anak. Memang pada awalnya saya sering dihampiri untuk diajak kumpul-kumpul, namun lama kelamaan mereka sudah hapal kalau saya hanya akan ikut kumpul sekali-kali saja. Kalau dihitung-hitung seminggu paling banyak tiga kali. Tiga kali itu benar-benar tiga kali seminggu, misalnya kalau saya sudah kumpul pagi maka sorenya saya akan absen, sedangkan kalau pagi saya belum ikutan nimbrung, sorenya saya hadir. Kalau yang lain betul-betul pagi dan sore. 
Pernah suatu kali saya selama seminggu penuh tidak keluar karena ada buku yang sedang serius saya baca, saat itu saya punya target baca buku one day one book, alhasil hampir satu gang ibu-ibu mengunjungi saya semua karena mereka cemas saya sedang sakit, mereka tidak mendapati saya juga di tukang sayur karena saya belanjanya saat langit masih gelap. Alangkah terharunya saya mendapatkan perhatian seperti itu. Seumur hidup baru kali itu saya merasakan betul-betul rasa kekeluargaan yang mendalam walaupun kami bukan satu ayah satu ibu dan bahkan sebelumnya tidak saling kenal.  

Kenangan anak-anak waktu masih di perum Paspampres.
Yang paling mengharukan adalah tatkala listrik di rumah saya mati sedangkan suami sedang naik dinas dan pakde yang biasanya membetulkan listrik tidak berani membongkar boks meteran listrik karena illegal. Listrik mati sama artinya dengan tidak nyala air karena kami menggunakan sumur bor dan pompa air. Persediaan air di bak kamar mandi dan di tiga ember di dapur ternyata habis hanya dalam sehari.
Saat saya hendak minta seember air ke rumah tetangga, beliau merasa tak tega demi melihat perut saya yang besar karena sedang hamil tua anak kedua dengan tangan kiri menggandeng tangan si sulung dan tangan kanan menenteng ember.
“Sudah, Ibu di rumah saja, biar kami yang urus,” ujarnya. Saya menurut lalu kembali ke rumah.
Beberapa saat kemudian pintu rumah diketuk, ternyata ada beberapa bapak-bapak ditemani istri-istrinya membawa selang lumayan panjang.
“Yang mau diisi air di mana, Bu? Kamar mandi ya?” Tanyanya. Saya yang masih terheran-heran hanya mengangguk. Ditemani istrinya, bapak itu lalu menuju kamar mandi. Beliau memberi kode kalau sudah siap dan istrinya menuju pintu untuk memberi kode lagi pada tetangga di depan rumah. Tak lama air mengalir deras memenuhi bak kamar mandi saya. Saat itu saya baru menyadari kalau mereka sedang berbondong-bondong membantu saya memberi air.
Setelah bak kamar mandi penuh, kembali istrinya memberi kode untuk mematikan air.
“Yang mana lagi yang mau diisi air, Bu?” Tanya bapak itu lagi. Saya menunjuk pada tiga ember yang ada di dapur. Lagi-lagi sang istri memberi kode untuk menyalakan air. Ya Tuhan, malam itu saya bisa lega karena bukan hanya seember air saja yang saya dapat, tapi melimpah. Bukan air saja yang saya rasa melimpah, namun juga limpahan kasih sayang mereka kepada saya. Saya langsung menangis saat itu juga sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
Keesokan harinya saya baru tahu kalau semalam ada delapan rumah yang meminjamkan selang demi air itu sampai ke rumah saya, karena saat itu rata-rata di tiap rumah hanya memiliki selang berukuran pendek. Lagi-lagi saya terharu, terbayang kehebohan mereka menyambung-nyambungkan selang, tentulah bukan perkara mudah, apalagi kalau diameter selangnya sama atau berbeda jauh, tentu lebih sulit lagi. Saya bersyukur Tuhan menempatkan saya di perumahan ini.
Di samping cerita mengharukan, ada pula cerita lucunya. Di perumahan itu ada rutinitas mengaji setiap Kamis sore dan saat saya akan ke warung di hari Selasa sore ada seorang ibu yang kebetulan belum saya kenal terheran-heran melihat saya.
“Emang pengajiannya sekarang ganti hari, ya, Bu?” Tanyanya. Gantian saya yang bingung.
“Kayaknya nggak, deh, Bu, memangnya kenapa?” Tanya saya.
“Ibu habis pengajiankan?” Tanyanya lagi. Saya menggeleng.
“Saya mau  ke warung, Bu, bukan habis pengajian,” jawab saya.
“Lah, mau  ke warung kok pakai kerudung?” Tanyanya heran. Saya juga semakin bingung.
“Saya pakai kerudung sejak sekolah, Bu, jadi pengajian nggak pengajian saya tetap pakai,” jawab saya terkekeh, ibu itupun tertawa. Kamipun akhirnya berkenalan dan berteman akrab. Saat tahun 2001-an itu kerudung atau jilbab memang belum ngetren seperti sekarang, jadi masih banyak yang merasa janggal melihat orang memakai kerudung tapi kegiatannya di luar pengajian atau kegiatan keagamaan.
Yang lebih lucu lagi adalah saat ada seorang ibu langsung menawari saya kerokan, jamu masuk angin dan bahkan langsung membawakan minyak angin ke rumah saya.
“Ibukan lagi masuk angin, sini saya kerokin biar sembuh,” ujarnya sok tahu. Saya bingung.
“Saya nggak masuk angin, Bu,” jawab  saya.
“Lho tapi tadi ke warung kok pakai kaos kaki? Apa namanya itu kalau nggak masuk angin?” Ujarnya lagi. Ya Tuhan, ingin sekali saya tertawa sampai guling-guling, tapi tentu saja ditahan.
“Oalah, sejak saya pakai kerudung saya juga pakai kaos kaki, Bu,” ujar saya.
Beliau lalu bertanya-tanya lebih banyak lagi dan akhirnya saya berbagi ilmu agama padanya.
Ada keharuan, kelucuan namun tak luput pula ada pergesekan-pergesekan sesame warga perumahan, terutamanya antar ibu-ibu. Sebisa mungkin saya menghindar kalau hal itu sampai terjadi atau hampir terjadi, saya selalu ingat pesan suami agar saya menjaga pergaulan, maksudnya pergaulan yang sudah terbina dengan baik jangan sampai dikotori oleh hal-hal sepele yang bisa merusak kasih sayang. Dan kebanyakan yang saya temui memang hanyalah hal sepele dan remeh temeh yang sebenarnya bukanlah masalah tapi anehnya menjadi masalah. Contohnya adalah saat tidak kebagian tempe di bude sayur, hal itu pernah saya alami kala saya belanjanya kesiangan. Saya kaget kala ada seorang ibu berkata keras dan lantang karena melihat tempe di tangan saya, beliau berpendapat kalau tempe itu adalah haknya karena lebih dulu datang dibanding saya. Karena teringat pesan suami sayapun mengalah meskipun sebenarnya saya dongkol bukan main. Sebelah saya membisiki kalau ibu itu memang senang cari ribut, kalau pagi itu tidak ketemu saya, mungkin ibu tadi sudah bertengkar dengan yang lain hanya gara-gara masalah tempe.
Masih banyak perkara-perkara lain yang kalau saya ceritakan di sini mungkin akan menjadi berjilid-jilid judul novel. Yang pasti saya bangga menjadi seorang istri prajurit dan tinggal di perumahan yang sebagian besar berisi anggota dan keluarga prajurit juga. Ada kebersamaan dan ada kekeluargaan yang akan selalu saya rindukan sepanjang sisa umur saya.
Itu sedikit cerita saya selama 4 tahun tinggal di perumahan Paspampres Cileungsi Bogor.

1 komentar: