Jumat, 16 Juni 2017

Ujian yang Mendewasakan



Menjalani hari demi hari, bukan peristiwa manis saja yang akan kita temui, namun seringkali hal-hal pahit mengampiri di luar batas kemampuan kita dan tanpa diduga. Betapa kita sudah berusaha menghindarinya, namun kuasa bukan berada di tangan kita. Seperti halnya saya yang harus merelakan  kepergian anak yang tiba-tiba tanggal 25 November 2016 lalu. Saat itu rasanya hidup sudah berakhir detik itu juga. Ingin rasanya nafas terhenti sebelum segala proses pengurusan almarhum dimulai hingga pemakaman. Namun nyatanya Tuhan tidak menghendaki itu, bahkan saat itu saya masih bisa tegak menerima para tamu dengan senyuman, saya tidak pingsan, tidak meraung atau semacamnya,  sampai ada bisik-bisik mampir ke telinga.
“Kok masih bisa senyum, ya?” Bisik ibu yang satu ke telinga seorang ibu di sebelahnya.
“Belum rasa aja, coba kalau kita semua udah pulang, baru deh kerasa kehilangan,” sahut ibu yang dibisiki. Mereka tidak tahu saja kalau saya sudah 2 kali ganti pakaian karena basah oleh  air mata sebelum mereka kemari.
Namun nyatanya pernyataan ibu itu benar, kesedihan, kepedihan, rasa sesak di dada tiba-tiba mengoyak saat rumah sudah sepi, hanya tinggal kami yang termangu masih tak percaya dengan yang baru saja terjadi. Hanya satu yang saya minta saat itu pada Tuhan yaitu supaya saya masih diberi kewarasan, karena kehilangan anak sama artinya seperti kehilangan nyawa sendiri, separuh jiwa serasa pergi. Dan saat malam tiba adalah saat di mana kesedihan itu seolah mencengkeram tanpa ampun. Saya tidak bisa lagi memberinya ASI sambil memeluk dan sesekali menciumnya. Saya tidak bisa lagi mendengar tangisannya. Pada akhirnya malam terasa begitu panjang karena kantuk tak juga menyapa. 

Muhammad Al-Fateh yang dirindui
sepasang mata bening yang menggemaskan
Sehari dua hari saya tak sanggup untuk makan, bahkan hanya secuil kue saja saya tolak, dan hal itu berlangsung sampai seminggu penuh. Hanya air putih yang sanggup melewati kerongkongan. Anehnya ASI masih saja penuh hingga mendesak-desak keluar, merembes, hingga sehari bisa beberapa kali ganti baju karena basah oleh ASI, dan itu semakin membuat dada sesak. Hanya minum saja ASI saya begitu deras, bagaimana kalau saya sanggup makan? Namun akhirnya kesehatan saya menurun, badan lemas dan virus penyakit begitu mudah menghampiri. Pekerjaan rumah tak lagi sanggup saya kerjakan. Dalam kondisi terbaring itulah keinginan membaca buku begitu menggebu untuk mengusir kebosanan. Saya membaca buku-buku anak TK sampai buku tebal-tebal. Di sana saya belajar rukun iman lagi, belajar hakikat hidup lagi. Mempelajari ilmu kehidupan yang sudah banyak saya lupakan. Saya menangis lagi saat mendengar nasyid tentang kasih sayang Tuhan yang disampaikan melalui kesusahan. Tangisan kali ini bukan meratapi kepergian anak saya, melainkan tangisan keinsyafan, tangisan penyesalan karena telah ‘sejenak’ pergi meninggalkan Tuhan, padahal Tuhan sedang memanggil dengan kasih sayang-Nya melalui ujian kesusahan.
Pada akhirnya saya akur dengan kenyataan hidup yang harus saya jalani, saya paksakan untuk makan, masih banyak orang-orang di sekeliling saya yang harus saya perhatikan, masih harus saya urusi dan merekapun sayang pada saya. Suami saya juga memberikan multivitamin-mineral untuk mempercepat pemulihan kondisi tubuh saya. Alhamdulillah kondisi saya pulih dalam waktu singkat,padahal saya baru makan beberapa potong buah saja.  Sejak saat itu saya bisa beraktifitas kembali seperti biasa. Memangnya sedihnya sudah hilang? Tentu saja masih, rasa sedih, rindu  dan pengharapan datang silih berganti. Apalagi saat membereskan perlengkapan almarhum, tak bisa diungkapkan rasanya, bahkan hanya melihat panci yang selalu dipakai untuk merebus air mandinya saja hati serasa remuk lagi, air mata tak terbendug lagi. Lebih-lebih kalau ASI sudah penuh, merembes dan membasahi baju, rasa penyesalan menyeruak kembali, dan ASI saya baru mengering sampai sebulan setelah kepergiannya.
Sebelum 40 hari dirundung duka, saya menawarkan diri untuk mengajar di Rumah Amal Anak Kesayangan di Sentul Bogor. Saya berharap aktifitas saya di sini akan memberi semangat positif pada diri saya selain ‘kesadaran’ yang telah saya dapat tentang penerimaan pada takdir Tuhan. Ternyata menghibur anak-anak mampu menghibur diri saya sendiri. Berbagi cerita-cerita teladan pada jiwa-jiwa yang masih suci itu, diselingi celetukan-celetukan naïf dari bibir-bibir mereka, mampu meminggirkan kedukaan saya. 



anak-anak adalah cahaya mata

keceriaan mereka menularkan semangat
Sekarang aktifitas saya sudah berjalan normal seperti sebelum saya melahirkan, mengurus rumah, anak-anak suami, mengajar dan masih bercengkarama pula dengan anak-anak di Rumah Amal Anak Kesayangan. Seringkali saya dibuat malu oleh mereka, karena kesusahan mereka jauh lebih besar daripada ujian yang Tuhan beri pada saya namun mereka masih bisa menjalani hidup dengan ceria. Mereka masih anak-anak, namun kebahagiaan masa kanak-kanak terenggut oleh keadaan. Ajaibnya tidak ada duka di wajah-wajah bening mereka, meskipun mereka ada yang yatim atau piatu dan terhimpit oleh kemiskinan.
"Kesusahan akan membuat kita lebih sensitif dengan pnderitaan orang," ujar teman saya. Ya, saya akur karena kita akan lebih empati, lebih simpati pada kesulitan orang lain jika kita sudah pernah merasakannya. Bukan berarti orang yang tidak pernah merasaan kesusahan tidak bisa berempati pada orang lain, namun dengan adanya ujian kesusahan itu artinya adalah pendewasaan. Belum tentu yang usianya dewasa jiwanya juga sudah dewasa. Dengan adanya kesadaran untuk apa kita hidup, maka ujian-ujian yang datang,baik ujian kesenangan maupun ujian kesusahan semuanya bisa mematangkan jiwa kita, mendewasakan kepribadian kita, hingga kita bisa lebih bijak dalam menyikapi hidup.
Kalau aktifitas sudah padat, seringkali saya lupa dengan jadwal makan dan asupan gizi yang baik, hingga penyakit dengan mudah menghampiri.

 
 

17 komentar:

  1. Sediiiih, kuat terus ya, be strong mom

    BalasHapus
  2. Sabar, setiap orang ada ujiannya masing-masing. btw Theragrannya bikin penasaran

    BalasHapus
  3. Ujian memang gerbang kita utk naik kelas ya mba :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak, mudah-mudahan gak tinggal kelas ya...

      Hapus
  4. Terenyuh bacanya. Nggak kuat nahan air mata yang mau jatuh. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf ya Mbak, saya nulisnya juga sepotong-sepotong karena aslinya masih bikin nangis, apalagi posting fotonya

      Hapus
  5. Turut mendoakan alm Muhammad Al-Fateh. Semoga bertemu dialam keabadian nanti. Semoga Mama Virgorini kuat yaa...Salam kenal...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Aamiin, makasih banyak Mbak Hani

      Hapus
    3. Sabar Ceu, saya juga ngalamin waktu bapak saya meninggal

      Hapus
  6. Sabar Ceu, saya juga ngalamin waktu bapak saya meninggal

    BalasHapus