CALON PRESIDEN
Virgorini Dwi Fatayati
Seorang
lelaki sedang menjalani tes calon Presiden tahun 2014. Tubuhnya yang masih
gagah dan tegap meski usianya sudah memasuki kepala lima,
ditambah air mukanya yang berwibawa dan bijaksana,
menjadikannya layak memimpin negara dan banga Indonesia yang sudah carut marut dan banyak masalah.
menjadikannya layak memimpin negara dan banga Indonesia yang sudah carut marut dan banyak masalah.
“Apa yang
menjadikan Anda mencalonkan diri dalam Pilpres 2014 ini?” Tanya salah seorang
juri.
“Saya ingin
memperbaiki Indonesia
secara menyeluruh, nasib bangsanya, kekayaan alamnya dan namanya di tingkat
internasional. Saya ingin mengharumkan nama Indonesia dengan memperbaiki segala
sistem yang sudah ada sekarang.”
“Anda
yakin?”
“Yakin.”
“Apa modal
Anda?”
“Keyakinan.”
“Hanya
itu?”
“Ya.”
“Tidak
mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi?”
“Tidak.”
“Mantap
sekali Anda menjawab. Apakah Anda tidak tahu banyak mantan presiden yang
mencalonkan diri lagi?
“Saya
tahu.”
“Tahukah
Anda bahwa saingan-saingan Anda nanti adalah orang-orang yang sudah
berpengalaman dan kuat-kuat?”
“Saya punya
kekuatan uang dan koneksi.”
“Baiklah,
melihat kemantapan Anda, Anda seharusnya lulus tapi sebelum kami meluluskan
Anda ikut dalam Pilpres 2014 ini, kami akan ajak Anda menaiki karpet waktu.”
“Karpet
waktu?”
“Ya, tidak
usah banyak bertanya, ikuti saja kami.”
“Baik.”
Pada
akhirnya seorang juri yang banyak bertanya tadi membawa lelaki itu ke dalam
suatu tempat. Di tempat yang tersembunyi itu terdapat sebuah karpet merah mirip
sebuah permadani. Lampu yang hanya lima
watt menjadikan lelaki yang bermata rabun jauh itu tidak dapat jelas melihat
detil karpet itu.
“Mari kita
duduk di karpet itu!” Ajak sang juri. Lelaki itu menurut.
“Anda tidak
usah banyak bertanya, ikut saja.” Sekali lagi juri itu mengingatkan.
Meski
sebenarnya merasa aneh dan merasa takut, lelaki itu menurut saja.
Dengan
sedikit ragu, lelaki itu duduk mengikuti juri yang telah lebih dulu duduk
bersila.
“Pejamkan
mata!”
“Baik.”
Lelaki itupun memejamkan mata. Semakin ketakutanlah hatinya, namun tak bisa
berbuat apa-apa, apalagi pintu ruangan dikunci. Hanya pasrah yang bisa
dilakukannya.
Beberapa
saat kemudian terdengar suara bising sebuah mesin, padahal di ruangan itu hanya
ada karpet. Lelaki itu terkejut, namun dia tak berani membuka mata.
Hanya
sekitar satu menit suara mesin itu membisingkan ruangan, yang kini dirasakan
lelaki itu dalam mata terpejamnya adalah sebuah ruangan terbuka dan semilir
angin yang terasa panas.
“Bukalah
mata Anda.” Perlahan, lelaki itu membuka mata. Betapa terkejutnya dia karena
yang didapatinya adalah sebuah gurun pasir. Dan tempatnya duduk adalah sebuah
batu besar, bukan lagi karpet yang tadi.
“Kita
berada pada masa pemerintahan Sayidina Umar bin Abdul Aziz.” Ucap sang juri
menjawab keheranan lelaki itu.
“Siapa
dia?”
“Beliau
pemimpin negara yang adil. Setelah pemerintahan Khulafaur Rasyidin,tidak ada
lagi pemimpin yang seadil beliau. Beliau sangat berhati-hati mengurus tanggung
jawab yang diamanahkan padanya. Beliau amat takut kalau tidak dapat bersikap
adil. Karena itulah beliau lebih mengutamakan keperluan rakyat daripada diri
dan keluarga.”
“Memangnya
masih ada pemimpin seperti itu setelah wafatnya Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin?”
“Sekarang
kita lihat buktinya. Mari kita ke rumah beliau.” Sang juri mengajak lelaki itu
berjalan.
“Salah satu
kehebatan Khalifah Umar bin Abdul Azis yang luar biasa adalah beliau malah
hidup miskin setelah diangkat menjadi khalifah. Anda tahu khalifah itu apa?”
“Semacam
presiden di negara kita.”
“Yap, Anda benar. Khalifah Umar menempati rumah yang hanya
cukup untuk dirinya. Karena setelah diangkat menjadi khalifah seluruh
kekayaannya diberikannya pada baitul mal.” Papar sang juri membuat hati sang
calon presiden kecut.
“Benar-benar
ini rumahnya?” Tanya lelaki itu tak percaya karena semula dia mengira akan
melewati rumah gubuk itu dan menuju rumah yang lebih baik dari yang dilihatnya.
“Ya, ini
benar-benar rumah beliau.” Sang juri
memperlihatkan sebuah rumah yang teramat sangat kecil dan sederhana.
Lelaki itu
mengintip dari balik jendela yang atapnya hanya terbuat dari daun kurma itu.
Ternyata di dalam rumah itu hanya terdapat sebuah cangkir, sebuah piring dan
sebuah alas lilin, tidak ada alas untuk tidur.
“Mari kita
naik lagi ke karpet.” Ajak sang juri, lelaki itu menurut saja.
Tiba-tiba
dua lelaki itu sudah dibawa ke tempat yang gelap.
“Di mana
ini?” Tanya sang calon presiden.
“Masih di
tempat yang sama, tapi kita berada di malam hari.” Sahut sang juri.
Beberapa
saat kemudian, terdengar seseorang mendatangi rumah khalifah Umar.
“Siapa?”
Tanya khalifah Umar dari dalam rumah.
“Saya,
Ayah.” Jawab orang yang datang yang ternyata putranya.
“Ada apa?”
“Ibu
menyuruh saya berjumpa ayah.”
“Untuk
apa?”
“Membicarakan
masalah keluarga.”
“Kalau
begitu tunggu sebentar.”
Sang calon
presiden dan sang juri mengintip dari lubang dinding. Dilihatnya khalifah Umar
meniup lilin satu-satunya yang ada di ruangan itu sehingga rumahnya menjadi
gelap gulita.
Kemudian
khalifah Umar membukakan pintu untuk anaknya.
“Mengapa
gelap begini, Ayah?”
“Maafkan
Ayah, anakku, Rumah ini bukan milik kita dan lampu ini bukan milik kita. Oleh
karena Ayah adalah pemimpin rakyat, Ayah wajib menjaga uang rakyat untuk
kepentingan rakyat. Ayah tidak mau gunakan untuk kepentingan keluarga sehingga
merugikan negara. Ayah takut di hadapan Allah nanti akan ditanya mengapa Ayah
gunakan minyak rakyat untuk kepentingan keluarga.” Papar khalifah Umar panjang
lebar.
“Jadi kalau
aku ke sini untuk membicarakan masalah negara ayah akan tetap menyalakan lampu,
tapi kalau untuk membicarakan masalah keluarga ayah mematikan lampu?”
“Ya, kau
benar anakku, masalah keluarga kan masalah pribadi, ayah tidak mau menggunakan
uang rakyat untuk kepentingan pribadi.” Ujar khalifah Umar lagi. Sang calon
presiden dahinya berkerut, rasa kesal menyergapnya.
“Anda
dengar itu? Anda paham?” Tanya sang juri.
“Ya, tapi
berlebihan sekali kalau hanya uang untuk lampu saja beliau tidak mau
menggunakannya, padahal rakyatnya tidak akan menuntut kalau hanya sedikit.”
“Beliau
tidak berlebihan, tapi terlalu berhati-hati.”
“Ah, mana
ada manusia seperti itu? Ini pasti hanya dongeng.”
“Tidak ini
nyata, kalau tidak percaya akan aku tunjukkan kepemimpinan pemimpin-pemimpin
lain yang patut dicontoh.”
“Tidak
perlu, aneh, aku tidak percaya!” Sengit sang calon presiden lagi.
”Ngomong-ngomong,q mengapa tiba-tiba aku memahami bahasa Arab?”
“Karena
dengan menaiki karpet ini kita akan memahami semua bahasa di dunia.” Bisik sang
juri kepada lelaki yang akhirnya termenung-menung.
“Kita naik
lagi ke karpet.” Ajak sang juri lagi.
Tak lama
kemudian, mereka tiba kembali di kegelapan malam, masih di tempat yang sama.
“Dengar,
beliau sedang menangis di atas sajadah.” Bisik sang juri.
“Mengapa
Ayah menangis?” Tanya istri khalifah Umar.
“Bagaimana
aku tidak menangis? Aku telah diangkat menjadi raja kaum Muslimin dan orang
asing. Yang sedang aku pikirkan sekarang adalah nasib orang-orang miskin yang
kelaparan. Orang yang sakit, yang tak berpakaian dan menderita, yang tertindas,
orang asing yang dipenjara. Mereka yang banyak anak tapi miskin. Serta mereka
yang berada di tempat-tempat yang jauh. Aku merasakan, pada hari kiamat tentu
aku akan ditanya oleh Allah keadaan mereka yang di bawah penguasaanku. Aku
takut tidak ada pembelaan yang dapat membantuku. Karena itu aku menangis.”
“Anda
dengar itu? Ayo, kita kembali naik ke karpet!”
Beberapa
saat kemudian, dua lelaki itu sudah berada di tempat yang sama dalam keadaan
terang.
“Ini sudah
pagi.” Ujar sang juri.
“Lihat ada
yang datang.” Seru sang calon presiden menunjuk pada seorang nenek. Nenek itu
mendatangi rumah khalifah Umar dengan tergesa-gesa.
“Demi Allah
aku bermimpi aneh sekali.” Ujar nenek itu.
“Ceritakanlah
mimpimu.” Kata Khalifah Umar.
“Aku
bermimpi melihat neraka yang berkobar
apinya. Dan ada titian siratul mustaqim di atasnya. Kemudian Abdul Malik bin
Marwan dibawa di atas titian itu lalu jatuh ke neraka jahanam. Kemudian dibawa
al-Walid bin Abdul Malik moyang anda, setelah hampir ke ujung kemudian dia
jatuh. Kemudian dibawa Sulaiman bin Abdul Malik, nasibnyapun begitu juga.”
“Teruskan…teruskan…”
Ujar khalifah Umar gundah, suaranya bergetar, kecemasannya menjadikan tubuhnya
menggigil dan ketakutannya bisa dilihat oleh sang juri dan sang calon presiden..
“Setelah
itu giliran Anda…saat giliran Anda…Anda, Anda masuk…” Bug! Belum selesai si
nenek bercerita, tubuh khalifah Umar terjatuh.
“Ya
Tuhan…ya Allah, aduh, bagaimana ini? Khalifah, khalifah, mengapa Anda? Ada apa
dengan Anda?” Si nenek mengguncang-guncang tubuh khalifah Umar dengan penuh
cemas, sejurus kemudian berdatanganlah orang-orang mendekati tempat itu.
“Cepat kita
kembali ke karpet!”
Secepat
kilat pula mereka sudah tiba di ruangan kosong lagi.
“Apa yang
terjadi pada khalifah Umar?” Tanya lelaki itu penuh rasa ingin tahu.
“Beliau
wafat karena takut dirinya juga menerima nasib yang sama dengan
pendahulu-pendahulunya. Usianya masih 36 tahun dan beliau hanya memerintah
selama 2 tahun saja. Seluruh hartanya sebelum menjabat menjadi khalifah
diserahkan semua ke Baitul Mal dan beliau hidup seperti rakyat biasa. Ketika
beliau wafat, semua berduka cita, termasuk mereka yang bukan Islam. Terasa
betapa makmurnya mereka hidup di bawah
pemerintahan
beliau. Kambing dan serigala yang saat pemerintahan beliau berbaikan, setelah
beliau wafat bermusuhan lagi.”
“Mengapa
bisa begitu?”
“Karena
beliau orang bertaqwa, tak ada seujung rambutpun beliau punya kepentingan
dunia, sekalipun sanjungan atau kehormatan, apalagi harta.”
“Maksud
Anda, dia hanya punya kepentingan dengan akhirat?”
“Ya, dia
merasa jadi pemimpin adalah amanat Tuhan yang harus dijalankannya dengan baik
dan benar. Dengan penghormatan saja beliau merasa tersiksa, apalagi dengan harta.”
Sang calon
presiden terdiam dan termenung.
“Apakah
Anda siap menjadi presiden seperti beliau?” Tanya sang juri.
Sang calon
presiden tidak menjawab, dia malah tergugu menangis.
“Lho, mengapa Anda malah menangis?”
“Ada apa saya ini? Tidak
pernah terpikir sedikitpun dalam diri saya menjadi orang seperti beliau, bahkan
tidak sedikitpun saya memiliki sifat seperti beliau, berani-beraninya saya
mencalonkan diri.” Masih tergugu lelaki itu menjawab.
“Lantas?”
“Periode
ini saya mengundurkan diri, saya ingin memperbaiki diri dulu dan juga
memperbaiki niat saya mencalonkan diri jadi presiden. Atau, mungkin juga saya
tidak berani-berani lagi mencalonkan diri menjadi presiden. Seumur hidup.”
“Mamang
seharusnya begitu.”Batin sang juri dalam hati sambil tersenyum. “Kita sedang
sangat membutuhkan pemimpin yang dipilih oleh Tuhan, bukan manusia.”
Sentul,260811
inilah kisah tauladan dari khalifah kita yang sepatutnya dicontoh oleh para pemimpin dinegeri ini, tapi jika kisah ini di sodorkan kepada mereka sepertinya mereka hanya akan mengganggap ini sebuah dongeng belaka.. ironis..
BalasHapusBenar Mak, makasih sudah mampir
BalasHapus