PINSIL IBU TIFAH
Azzahra Nabila
Adawiyah
“Ini
pinsil yang harus kamu bagi sama rata di kelas, ya?” Ujar bu Tifah
menyerahkan satu pak kotak berisi 40 buah pinsil.
“Baik, Bu.” Sahut Thoriq
mantap. Dia mengambil pinsil itu dan segera kembali ke kelas yang diketuainya.
“Teman-teman,
karena ulangan bahasa Indonesia kita kemarin rata-rata nilainya bagus, maka bu
Tifah memberikan hadiah untuk kita.” Ujar Thoriq memberikan pengumuman.
“Wah,
asik dong!” Seru Tika. Suasana kelaspun tiba-tiba gaduh, semua menebak-nebak
hadiah apa yang akan diberikan wali kelas mereka itu.
“Bu Tifah
menyuruh aku membagi-bagikan pinsil ini.” Ujar Thoriq lagi.
“Waah, itukan pinsil bermerk,
pasti harganya mahal.” Seru Oki.
“Makanya,
kita patut bersyukur dan berterima kasih pada bu Tifah.” Ujar Thoriq sambil
mulai membagi-bagikan pinsil itu ke tiap-tiap bangku, satu anak dapat jatah
satu pinsil.
Saat
semua pinsil sudah selesai dibagikan, Thoriq heran karena pinsilnya masih
tersisa lima buah.
“Hari ini
ada yang tidak masuk, ya?” Tanya Thoriq.
“Semua
masuk kok.” Jawab teman-temannya hampir bersamaan.
“Berarti
sisa pinsilnya harus aku kembalikan pada bu Tifah.” Batin Thoriq.
Saat
pulang sekolah Thoriq kecewa karena guru yang dicarinya sudah tidak ada. Kata
pak Samsul bu Tifah mendadak pulang setelah ada seseorang menelponnya, bahkan
kelas empat saja hanya diberi tugas oleh bu Tifah.
Akhirnya
Thoriq menyimpan kembali sisa pinsil itu ke dalam tas sekolahnya.
Pulang
sekolah Thoriq bergegas pergi lagi setelah sholat Dzuhur dan makan siang.
Thoriq menggantikan tugas ibunya menunggu warung kecilnya yang berada di ujung
gang rumahnya. Setiap hari Thoriq memang bertugas menggantikan tugas ibunya
menjaga warung sepulang sekolah supaya ibu bisa istirahat sejenak dan bisa
beres-beres rumah sekaligus memasak makanan untuk malam. Ayah Thoriq sudah lama
meninggal, yaitu sejak Thoriq masih berusia tujuh tahun, sedangkan kedua
adiknya waktu itu masih berumur empat tahun dan satu tahun. Sebelum ayah Thoriq
kecelakaan dan meninggal, ayah Thoriq adalah seorang pekerja yang rajin dan
ulet di bengkel pak haji Muflih sehingga sang pemilik bengkel memberi
penghargaan pada ibu Thoriq yaitu sebuah warung kelontong kecil di ujung gang
atas persetujuan warga sekitar.
Biasanya
sambil menunggui warung, waktu yang ada Thoriq gunakan untuk menimbang dan
membungkusi gula pasir, terigu maupun minyak goreng supaya jika ada pembeli
dapat dengan cepat terlayani, sedangkan waktu yang tersisa Thoriq gunakan untuk
mengulang pelajaran yang dia dapat di sekolah.
---
Keesokan
harinya Thoriq kebingungan mencari
pinsil-pinsil dari bu Tifah yang rencananya akan dikembalikannya hari ini.
“Ibu
pikir pinsil itu untuk dijual karena masih ada kotaknya, jadi Ibu bawa ke
warung.” Jawab ibu saat Thoriq menanyakan pinsil itu pada ibunya.
“Ya Tuhan,
Bu, pinsil itu punya bu Tifah, Thoriq ambil sekarang di warung ya, Bu?”
“Maaf,
Nak, pinsil itu sudah habis terjual.”
“Semuanya,
Bu?” Wajah Thoriq diliputi kecemasan. Ibu mengangguk lesu dan merasa bersalah.
“Ibu jual
berapa satu buahnya?”
“Karena
pinsil itu pinsil 2B, jadi Ibu jual seribuan, kalo pinsil biasa kan hanya lima ratusan.”
“Tapi itu
pinsil bermerk, Bu, harganya pasti lebih mahal.”
“Ibu
minta maaf.” Sesal ibu Thoriq. Thoriq kemudian pamit dan bergegas pergi ke
sekolah.
Thoriq
merasa lega karena hari itu tidak berjumpa bu Tifah, kata teman-teman
sekelasnya bu Tifah cuti beberapa hari karena ibu beliau sakit keras.
Thoriq
mampir ke toko buku sepulang sekolah. Di toko buku Thoriq berusaha mencari tahu
harga pinsil yang telah dijual ibunya.
“Tiga ribuan,
Dek.” Jawab penjaga toko. Thoriq langsung lemas, berarti dia membutuhkan lima
belas ribu rupiah untuk mengganti pinsil bu Tifah.
Keesokan
harinya Thoriq berangkat lebih pagi. Sengaja Thoriq melakukannya karena dia
sudah bertekad akan jalan kaki sampai uang lima belas ribu itu terkumpul. Satu
hari Thoriq membutuhkan dua ribu untuk ongkos pulang pergi ke sekolah, sehingga
dibutuhkan tujuh hari dan kekurangannya yang seribu akan Thoriq minta dari ibu.
Syukurlah jarak sekolah dan rumah Thoriq hanya sekitar delapan ratus meter
saja.
---
Tepat di
saat Thoriq sudah membawa pinsil pengganti, bu Tifah sudah kembali ke sekolah.
Thoriq merasa sebentar lagi dia akan terbebas dari beban yang dipikulnya selama
seminggu lebih.
“Lho! Ibu
memang berniat memberikannya untuk kamu.” Ujar bu Tifah saat Thoriq
mengembalikan pinsilnya.
“Tapi,
Bu, ini tidak adil, teman-teman hanya dapat satu, masak saya dapat lima?”
“Kamu
sendiri tidak adil pada dirimu sendiri, kamu akan mengembalikan kelima pinsil
ini, padahal kamu belum mengambilnya satupun.”
“Baik,
Bu, kalau begitu saya ambil satu.”
“Thoriq,
sudah lama Ibu ingin memberimu hadiah pinsil yang bagus, setiap hari Ibu
melihat kamu sibuk meraut pinsilmu yang selalu patah karena harganya yang murah
sehingga kamu seringkali ketinggalan mengerjakan tugas dibanding teman-teman,
padahal Ibu tahu kamu anak yang cerdas.”
“Tapi,
Bu…”
“Simpan
pinsil ini untukmu, kamu membutuhkannya, apalagi pinsil ini kamu sendiri yang
membelinya, iya kan?
Dengan keringatmu sendiri.” Thoriq terkejut karena bu Tifah mengetahui hal itu.
“Dari
mana Ibu tahu?”
“Dari
ini.” Bu Tifah menyerahkan sepucuk surat pada Thoriq. Thoriq hapal betul
pemilik tulisan itu, di dalamnya berisi penyesalan yang mendalam atas
kesalahannya yang mengakibatkan anaknya harus berjalan kaki setiap hari selama
tujuh hari demi menebus kesalahan ibunya. Surat itu memang dari ibu Thoriq untuk
bu Tifah yang dititipkannya pada pak Sukri si penjaga sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar