Minggu, 16 Desember 2012

Cerpen Pinsil Bu Latifah tayang di Kompas Anak 27 Juli 2012 (cerpen anak pertama, Azzahra NA 12tahun)


PINSIL IBU TIFAH
Azzahra Nabila Adawiyah
“Ini pinsil yang harus kamu bagi sama rata di kelas, ya?” Ujar bu Tifah menyerahkan satu pak kotak berisi 40 buah pinsil.
“Baik, Bu.” Sahut Thoriq mantap. Dia mengambil pinsil itu dan segera kembali ke kelas yang diketuainya.
“Teman-teman, karena ulangan bahasa Indonesia kita kemarin rata-rata nilainya bagus, maka bu Tifah memberikan hadiah untuk kita.” Ujar Thoriq memberikan pengumuman.
“Wah, asik dong!” Seru Tika. Suasana kelaspun tiba-tiba gaduh, semua menebak-nebak hadiah apa yang akan diberikan wali kelas mereka itu.
“Bu Tifah menyuruh aku membagi-bagikan pinsil ini.” Ujar Thoriq lagi.
“Waah, itukan pinsil bermerk, pasti harganya mahal.” Seru Oki.
“Makanya, kita patut bersyukur dan berterima kasih pada bu Tifah.” Ujar Thoriq sambil mulai membagi-bagikan pinsil itu ke tiap-tiap bangku, satu anak dapat jatah satu pinsil.
Saat semua pinsil sudah selesai dibagikan, Thoriq heran karena pinsilnya masih tersisa lima buah.
“Hari ini ada yang tidak masuk, ya?” Tanya Thoriq.
“Semua masuk kok.” Jawab teman-temannya hampir bersamaan.
“Berarti sisa pinsilnya harus aku kembalikan pada bu Tifah.” Batin Thoriq.
Saat pulang sekolah Thoriq kecewa karena guru yang dicarinya sudah tidak ada. Kata pak Samsul bu Tifah mendadak pulang setelah ada seseorang menelponnya, bahkan kelas empat saja hanya diberi tugas oleh bu Tifah.
Akhirnya Thoriq menyimpan kembali sisa pinsil itu ke dalam tas sekolahnya.
Pulang sekolah Thoriq bergegas pergi lagi setelah sholat Dzuhur dan makan siang. Thoriq menggantikan tugas ibunya menunggu warung kecilnya yang berada di ujung gang rumahnya. Setiap hari Thoriq memang bertugas menggantikan tugas ibunya menjaga warung sepulang sekolah supaya ibu bisa istirahat sejenak dan bisa beres-beres rumah sekaligus memasak makanan untuk malam. Ayah Thoriq sudah lama meninggal, yaitu sejak Thoriq masih berusia tujuh tahun, sedangkan kedua adiknya waktu itu masih berumur empat tahun dan satu tahun. Sebelum ayah Thoriq kecelakaan dan meninggal, ayah Thoriq adalah seorang pekerja yang rajin dan ulet di bengkel pak haji Muflih sehingga sang pemilik bengkel memberi penghargaan pada ibu Thoriq yaitu sebuah warung kelontong kecil di ujung gang atas persetujuan warga sekitar.
Biasanya sambil menunggui warung, waktu yang ada Thoriq gunakan untuk menimbang dan membungkusi gula pasir, terigu maupun minyak goreng supaya jika ada pembeli dapat dengan cepat terlayani, sedangkan waktu yang tersisa Thoriq gunakan untuk mengulang pelajaran yang dia dapat di sekolah.
---
Keesokan harinya  Thoriq kebingungan mencari pinsil-pinsil dari bu Tifah yang rencananya akan dikembalikannya hari ini.
“Ibu pikir pinsil itu untuk dijual karena masih ada kotaknya, jadi Ibu bawa ke warung.” Jawab ibu saat Thoriq menanyakan pinsil itu pada ibunya.
“Ya Tuhan, Bu, pinsil itu punya bu Tifah, Thoriq ambil sekarang di warung ya, Bu?”
“Maaf, Nak, pinsil itu sudah habis terjual.”
“Semuanya, Bu?” Wajah Thoriq diliputi kecemasan. Ibu mengangguk lesu dan merasa bersalah.
“Ibu jual berapa satu buahnya?”
“Karena pinsil itu pinsil 2B, jadi Ibu jual seribuan, kalo pinsil biasa kan hanya lima ratusan.
“Tapi itu pinsil bermerk, Bu, harganya pasti lebih mahal.”
“Ibu minta maaf.” Sesal ibu Thoriq. Thoriq kemudian pamit dan bergegas pergi ke sekolah.
Thoriq merasa lega karena hari itu tidak berjumpa bu Tifah, kata teman-teman sekelasnya bu Tifah cuti beberapa hari karena ibu beliau sakit keras.
Thoriq mampir ke toko buku sepulang sekolah. Di toko buku Thoriq berusaha mencari tahu harga pinsil yang telah dijual ibunya.
“Tiga ribuan, Dek.” Jawab penjaga toko. Thoriq langsung lemas, berarti dia membutuhkan lima belas ribu rupiah untuk mengganti pinsil bu Tifah.
Keesokan harinya Thoriq berangkat lebih pagi. Sengaja Thoriq melakukannya karena dia sudah bertekad akan jalan kaki sampai uang lima belas ribu itu terkumpul. Satu hari Thoriq membutuhkan dua ribu untuk ongkos pulang pergi ke sekolah, sehingga dibutuhkan tujuh hari dan kekurangannya yang seribu akan Thoriq minta dari ibu. Syukurlah jarak sekolah dan rumah Thoriq hanya sekitar delapan ratus meter saja.
---
Tepat di saat Thoriq sudah membawa pinsil pengganti, bu Tifah sudah kembali ke sekolah. Thoriq merasa sebentar lagi dia akan terbebas dari beban yang dipikulnya selama seminggu lebih.
“Lho! Ibu memang berniat memberikannya untuk kamu.” Ujar bu Tifah saat Thoriq mengembalikan pinsilnya.
“Tapi, Bu, ini tidak adil, teman-teman hanya dapat satu, masak saya dapat lima?”
“Kamu sendiri tidak adil pada dirimu sendiri, kamu akan mengembalikan kelima pinsil ini, padahal kamu belum mengambilnya satupun.”
“Baik, Bu, kalau begitu saya ambil satu.”
“Thoriq, sudah lama Ibu ingin memberimu hadiah pinsil yang bagus, setiap hari Ibu melihat kamu sibuk meraut pinsilmu yang selalu patah karena harganya yang murah sehingga kamu seringkali ketinggalan mengerjakan tugas dibanding teman-teman, padahal Ibu tahu kamu anak yang cerdas.”
“Tapi, Bu…”
“Simpan pinsil ini untukmu, kamu membutuhkannya, apalagi pinsil ini kamu sendiri yang membelinya, iya kan? Dengan keringatmu sendiri.” Thoriq terkejut karena bu Tifah mengetahui hal itu.
“Dari mana Ibu tahu?”
“Dari ini.” Bu Tifah menyerahkan sepucuk surat pada Thoriq. Thoriq hapal betul pemilik tulisan itu, di dalamnya berisi penyesalan yang mendalam atas kesalahannya yang mengakibatkan anaknya harus berjalan kaki setiap hari selama tujuh hari demi menebus kesalahan ibunya. Surat itu memang dari ibu Thoriq untuk bu Tifah yang dititipkannya pada pak Sukri si penjaga sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar