Senin, 30 Oktober 2017

Cerita Keponakan dan Pamannya

"Wah, hape baru nih?" Tanya suamiku sambil membolak-balik hape berlogo apel kegigit itu.
"Bisa gak?" Tanya keponakan suami pemilik hape baru itu.
"Ya bisalah, paling beda tipis aja sama hape biasa," sahut suamiku.
"Bukaaaan, maksudnya bisa gak belinya? Kebeli gak?" Tanyanya dengan wajah penuh kemenangan. Mendapati jawaban songong seperti itu hati perempuan mana sih yang gak terasa kesamber petir? Itu anak remaja lho! Anak kakak ipar yang kelahirannya begitu dinanti-nanti suamiku, suamiku yang pontang-panting kesana kemari karena bapak anak ini jauh di rantau. Suamiku yang saat dia demam sibuk menjaga dan merawatnya. Sekarang dengan berani ngomomg kurang ajar seperti itu?
Udah kesel begitu lalu saya bilang ke suami suruh negur beliau mah lempeng aja. Bilangnya anaknya memang begitu. Duh, tambah bikin gondok aja.
Sudahlah seperti itu setiap saya datang berkunjung ke rumahnya, dia gak menemui kami sama sekali, minimal bersalamanlah, tapi gak dilakukan sama sekali. Sampai anak-anak saya yang kecil-kecil tidak tahu anak-anak budenya sendiri, padahal suamiku hanya dua bersaudara.
Alhasil kalau kami berkunjung, kami hanya ditemui oleh pembantunya, ditemui sebentar oleh kakak ipar yang super sibuk karena beliau kepala sekolah dan pengurus ibu-ibu PKK.
Saya lalu mengingat-ingat apa mungkin ada kesalahan saya yang membuat keponakan suami saya ini bersikap seperti itu. Setelah saya ingat-ingat, muncul peristiwa saat kematian suami kakak ipar alias bapak dari anak songong itu.
Saat saya mengingatnya, saya coba komunikasi dengan ibu mertua. Saya tidak mau dugaan ini saya simpan sendiri. Ya, saat suami kakak ipar saya meninggal, suami sebenarnya sudah ijin cuti untuk pulang dari Jakarta ke Purworejo. Suami sudah siap berangkat sampai telpon masuk saat beliau mengenakan sepatu. Saat itu saya sendiri sedang masa nifas hingga belum bisa kemana-mana.
Telpon masuk itu mengabarkan kalau personil tim kurang hingga mau gak mau suamiku harus batal berangkat. Apakah suamiku maksa pulang kampung? Kebetulan suami bukanlah orang yang berani melanggar, jadi beliau sudah mengecewakan kakak dan keponakan-keponakannya sore itu. Suamiku tetap berangkat tapi untuk dinas, tidak jadi takziyah kakak iparnya. Mungkin hal ini yang membuat keponakannya itu terluka, sakit hati hingga membuatnya marah dan bersikap sedemikian rupa.
"Atau karena kita orang miskin, Mi?" Begitu versi anak-anakku. Yah, aku sih berusaha sedapat mungkin bersangka baik dan itu kutanamkan pada anak-anak.
Ternyata diam-diam suamiku juga mendoakan keponakannya. Saya baru tahu saat membaca curhatannya. Yah, meskipun di depan kami semua seolah baik-baik saja, ternyata suamiku memendam rasa😥
Satu lagi, keponakan suamiku ini juga anti sekali pada aparat. Dia tentulah berkaca pada pamannya.
Namun ternyata Allah saja yang bisa membolak-balik hati. Penyebab lahiriahnya memang ada, yaitu adiknya diterima dan sedang menempuh pendidikan calon Bintara. Nyatanya walaupun anti aparat, tetap saja bangga saat adiknya sudah lolos dan lulus jadi TNI.
Sore tadi anak songong ini follow suamiku di medsos setelah sebelumnya memblokir karena kesal setiap saat diberi wejangan. Dia juga menyapa suami dan bilang kalau sekarang dia sudah mulai salat, alhamdulillah.
Dan pagi ini dia juga add akun facebookku meski dia belum kunjung menyapa walaupun sudah dikonfirmasi. Semoga ini menjadi awal yang baik. Kalau sekarang saya menyebutnya bukan anak songong lagi, melainkan insya Allah anak soleh😉
#ODOPOKT27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar