Kamis, 12 Oktober 2017

Calon Presiden




SEORANG lelaki sedang menjalani tes calon presiden tahun 2014. Tubuhnya yang masih gagah dan tegap meski usianya sudah memasuki kepala lima, ditambah air mukanya yang berwibawa dan bijaksana, menjadikannya layak memimpin negara dan bangsa Indonesia yang sudah karut-marut dan banyak masalah.
“Apa yang menjadikan Anda mencalonkan diri dalam Pilpres 2014 ini?” tanya salah seorang juri.
“Saya ingin memperbaiki Indonesia secara menyeluruh, nasib bangsanya, kekayaan alamnya, dan namanya di tingkat internasional. Saya ingin mengharumkan nama Indonesia dengan memperbaiki segala sistem yang sudah ada sekarang.”
“Anda yakin?”
“Yakin.”
“Apa modal Anda?”
“Keyakinan.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
“Tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi?”
“Tidak.”
“Mantap sekali Anda menjawab. Apakah Anda tidak tahu banyak mantan presiden yang mencalonkan diri lagi?”
“Saya tahu.”
“Tahukah Anda bahwa saingan-saingan Anda nanti adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dan kuat-kuat?”
“Saya punya kekuatan uang dan koneksi.”
“Baiklah, melihat kemantapan Anda, Anda seharusnya lulus, tapi sebelum kami meluluskan Anda ikut dalam Pilpres 2014 ini, kami akan ajak Anda menaiki karpet waktu.”
“Karpet waktu?”
“Ya, tidak usah banyak bertanya, ikuti saja kami.”
“Baik.”
Pada akhirnya seorang juri yang banyak bertanya tadi membawa lelaki itu ke dalam suatu tempat. Di tempat yang tersembunyi itu terdapat sebuah karpet merah mirip sebuah permadani. Lampu yang hanya lima watt menjadikan lelaki yang bermata rabun jauh itu tidak dapat jelas melihat detail karpet itu.
“Mari kita duduk di karpet itu!” ajak sang juri. Lelaki itu menurut.
“Anda tidak usah banyak bertanya, ikut saja.” Sekali lagi juri itu mengingatkan.
Meski sebenarnya merasa aneh dan merasa takut, lelaki itu menurut saja.
Dengan sedikit ragu, lelaki itu duduk mengikuti juri yang telah lebih dulu duduk bersila.
“Pejamkan mata!”
“Baik.” Lelaki itu pun memejamkan mata. Semakin ketakutanlah hatinya, namun tak bisa berbuat apa-apa, apalagi pintu ruangan dikunci. Hanya pasrah yang bisa dilakukannya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara bising sebuah mesin, padahal di ruangan itu hanya ada karpet. Lelaki itu terkejut, namun dia tak berani membuka mata.
Hanya sekitar satu menit suara mesin itu membisingkan ruangan, yang kini dirasakan lelaki itu dalam mata terpejamnya adalah sebuah ruangan terbuka dan semilir angin yang terasa panas.
“Bukalah mata Anda.” Perlahan, lelaki itu membuka mata. Betapa terkejutnya dia karena yang didapatinya adalah sebuah gurun pasir. Dan, tempatnya duduk adalah sebuah batu besar, bukan lagi karpet yang tadi.
“Kita berada pada masa pemerintahan Sayidina Umar bin Abdul Aziz.” Ucap sang juri menjawab keheranan lelaki itu.
“Siapa dia?”
“Beliau pemimpin negara yang adil. Setelah pemerintahan Khulafaur Rasyidin, tidak ada lagi pemimpin yang seadil beliau. Beliau sangat berhati-hati mengurus tanggung jawab yang diamanahkan padanya. Beliau amat takut kalau tidak dapat bersikap adil. Karena itulah beliau lebih mengutamakan keperluan rakyat daripada diri dan keluarga.”
“Memangnya masih ada pemimpin seperti itu setelah wafatnya Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin?”
“Sekarang kita lihat buktinya. Mari kita ke rumah beliau.” Sang juri mengajak lelaki itu berjalan.
“Salah satu kehebatan Khalifah Umar bin Abdul Azis yang luar biasa adalah beliau malah hidup miskin setelah diangkat menjadi khalifah. Anda tahu khalifah itu apa?”
“Semacam presiden di negara kita.”
Yap, Anda benar. Khalifah Umar menempati rumah yang hanya cukup untuk dirinya. Karena setelah diangkat menjadi khalifah, seluruh kekayaannya diberikannya pada baitul mal.” Papar sang juri membuat hati sang calon presiden kecut.
“Benar-benar ini rumahnya?” tanya lelaki itu tak percaya karena semula dia mengira akan melewati rumah gubuk itu dan menuju rumah yang lebih baik dari yang dilihatnya.
“Ya, ini benar-benar rumah beliau.” Sang juri memperlihatkan sebuah rumah yang teramat sangat kecil dan sederhana.
Lelaki itu mengintip dari balik jendela yang atapnya hanya terbuat dari daun kurma itu. Ternyata, di dalam rumah itu hanya terdapat sebuah cangkir, sebuah piring, dan sebuah alas lilin, tidak ada alas untuk tidur.
“Mari kita naik lagi ke karpet.” Ajak sang juri, lelaki itu menurut saja.
Tiba-tiba dua lelaki itu sudah dibawa ke tempat yang gelap.
“Di mana ini?” tanya sang calon presiden.
“Masih di tempat yang sama, tapi kita berada di malam hari.” Sahut sang juri.
Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang mendatangi rumah Khalifah Umar.
“Siapa?” tanya Khalifah Umar dari dalam rumah.
“Saya, Ayah,” jawab orang yang datang yang ternyata putranya.
“Ada apa?”
“Ibu menyuruh saya berjumpa ayah.”
“Untuk apa?”
“Membicarakan masalah keluarga.”
“Kalau begitu tunggu sebentar.” Sang calon presiden dan sang juri mengintip dari lubang dinding. Dilihatnya khalifah Umar meniup lilin satu-satunya yang ada di ruangan itu sehingga rumahnya menjadi gelap gulita.
Kemudian, Khalifah Umar membukakan pintu untuk anaknya.
“Mengapa gelap begini, Ayah?”
“Maafkan Ayah, anakku, rumah ini bukan milik kita dan lampu ini bukan milik kita. Oleh karena Ayah adalah pemimpin rakyat, Ayah wajib menjaga uang rakyat untuk kepentingan rakyat. Ayah tidak mau gunakan untuk kepentingan keluarga sehingga merugikan negara. Ayah takut di hadapan Allah nanti akan ditanya mengapa Ayah gunakan minyak rakyat untuk kepentingan keluarga.” Papar Khalifah Umar panjang lebar.
“Jadi, kalau aku ke sini untuk membicarakan masalah negara, ayah akan tetap menyalakan lampu, tapi kalau untuk membicarakan masalah keluarga ayah mematikan lampu?”
“Ya, kau benar anakku, masalah keluarga kan masalah pribadi, ayah tidak mau menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi,” ujar Khalifah Umar lagi.
Sang calon presiden dahinya berkerut, rasa kesal menyergapnya.
“Anda dengar itu? Anda paham?” tanya sang juri.
“Ya, tapi berlebihan sekali kalau hanya uang untuk lampu saja beliau tidak mau menggunakannya, padahal rakyatnya tidak akan menuntut kalau hanya sedikit.”
“Beliau tidak berlebihan, tapi terlalu berhati-hati.”
“Ah, mana ada manusia seperti itu? Ini pasti hanya dongeng.”
“Tidak, ini nyata, kalau tidak percaya akan aku tunjukkan kepemimpinan pemimpin-pemimpin lain yang patut dicontoh.”
“Tidak perlu, aneh, aku tidak percaya!” Sengit sang calon presiden lagi. “Ngomong-ngomong, mengapa tiba-tiba aku memahami bahasa Arab?”
“Karena dengan menaiki karpet ini, kita akan memahami semua bahasa di dunia.” Bisik sang juri kepada lelaki yang akhirnya termenung-menung.
“Kita naik lagi ke karpet,” ajak sang juri lagi.
Tak lama kemudian, mereka tiba kembali di kegelapan malam, masih di tempat yang sama.
“Dengar, beliau sedang menangis di atas sajadah,” bisik sang juri.
“Mengapa Ayah menangis?” tanya istri Khalifah Umar.
“Bagaimana aku tidak menangis? Aku telah diangkat menjadi raja kaum Muslimin dan orang asing. Yang sedang aku pikirkan sekarang adalah nasib orang-orang miskin yang kelaparan. Orang yang sakit, yang tak berpakaian dan menderita, yang tertindas, orang asing yang dipenjara. Mereka yang banyak anak, tapi miskin. Serta, mereka yang berada di tempat-tempat yang jauh. Aku merasakan, pada hari kiamat tentu aku akan ditanya oleh Allah keadaan mereka yang di bawah penguasaanku. Aku takut tidak ada pembelaan yang dapat membantuku. Karena itu aku menangis.”
“Anda dengar itu? Ayo, kita kembali naik ke karpet!”
Beberapa saat kemudian, dua lelaki itu sudah berada di tempat yang sama dalam keadaan terang.
“Ini sudah pagi,” ujar sang juri.
“Lihat ada yang datang,” seru sang calon presiden menunjuk pada seorang nenek. Nenek itu mendatangi rumah Khalifah Umar dengan tergesa-gesa.
“Demi Allah aku bermimpi aneh sekali.” Ujar nenek itu.
“Ceritakanlah mimpimu.” Kata Khalifah Umar.
“Aku bermimpi melihat neraka yang berkobar apinya. Dan, ada titian siratul mustaqim di atasnya. Kemudian, Abdul Malik bin Marwan dibawa di atas titian itu lalu jatuh ke neraka jahanam. Kemudian, dibawa al-Walid bin Abdul Malik moyang Anda, setelah hampir ke ujung kemudian dia jatuh. Kemudian, dibawa Sulaiman bin Abdul Malik, nasibnya pun begitu juga.”
“Teruskan… teruskan…,” ujar Khalifah Umar gundah, suaranya bergetar, kecemasannya menjadikan tubuhnya menggigil dan ketakutannya bisa dilihat oleh sang juri dan sang calon presiden..
“Setelah itu giliran Anda… saat giliran Anda… Anda, Anda masuk….”
Bug! Belum selesai si nenek bercerita, tubuh Khalifah Umar terjatuh.
“Ya Tuhan… ya Allah, aduh, bagaimana ini? Khalifah, khalifah, mengapa Anda? Ada apa dengan Anda?” Si nenek mengguncang-guncang tubuh Khalifah Umar dengan penuh cemas, sejurus kemudian berdatanganlah orang-orang mendekati tempat itu.
“Cepat kita kembali ke karpet!” Secepat kilat pula mereka sudah tiba di ruangan kosong lagi.
“Apa yang terjadi pada Khalifah Umar?” tanya lelaki itu penuh rasa ingin tahu.
“Beliau wafat karena takut dirinya juga menerima nasib yang sama dengan pendahulu-pendahulunya. Usianya masih 36 tahun dan beliau hanya memerintah selama dua tahun. Seluruh hartanya sebelum menjabat menjadi khalifah diserahkan semua ke baitul mal dan beliau hidup seperti rakyat biasa. Ketika beliau wafat, semua berdukacita, termasuk mereka yang bukan Islam. Terasa betapa makmurnya mereka hidup di bawah pemerintahan beliau. Kambing dan serigala yang saat pemerintahan beliau berbaikan, setelah beliau wafat bermusuhan lagi.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Karena beliau orang bertakwa, tak ada seujung rambut pun beliau punya kepentingan dunia, sekali pun sanjungan atau kehormatan, apalagi harta.”
“Maksud Anda, dia hanya punya kepentingan dengan akhirat?”
“Ya, dia merasa jadi pemimpin adalah amanat Tuhan yang harus dijalankannya dengan baik dan benar. Dengan penghormatan saja beliau merasa tersiksa, apalagi dengan harta.”
Sang calon presiden terdiam dan termenung.
“Apakah Anda siap menjadi presiden seperti beliau?” tanya sang juri.
Sang calon presiden tidak menjawab, dia malah tergugu menangis.
Lho, mengapa Anda malah menangis?”
“Ada apa saya ini? Tidak pernah terpikir sedikit pun dalam diri saya menjadi orang seperti beliau, bahkan tidak sedikit pun saya memiliki sifat seperti beliau, berani-beraninya saya mencalonkan diri.” Masih tergugu lelaki itu menjawab.
“Lantas?”
“Periode ini saya mengundurkan diri, saya ingin memperbaiki diri dulu dan juga memperbaiki niat saya mencalonkan diri jadi presiden. Atau, mungkin juga saya tidak berani-berani lagi mencalonkan diri menjadi presiden. Seumur hidup.”
“Memang seharusnya begitu,” batin sang juri dalam hati sambil tersenyum. “Kita sedang sangat membutuhkan pemimpin yang dipilih oleh Tuhan, bukan manusia.” (*)

4 komentar:

  1. Suka last statement nya...Pemimpin yang dipilih Tuhan, bukan manusia..:)

    BalasHapus
  2. Huff.. Beratnya jadi pemimpin :(

    BalasHapus
  3. Jadi pemimpin itu berat, tapi herannya banyak yang berlomba2 rebutan jabatan bahkan memakai segala cara :(

    BalasHapus