Kamis, 05 Oktober 2017

Siap Jadi Istri Prajurit?

Sejak bulan Juli 1998 saya sudah mengurus surat-surat seperti Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) ibu, bapak dan saya sendiri, Kartu Keluarga dan sebagainya atas permintaan mas suami. Meski agak ribet bolak-balik ke kantor polisi untuk ngurus SKKB tapi tetap dijalani.
Sekitar bulan Oktober surat-surat itu beres dan kami start menghadap komandan suami.
Saat di meja pertama sang komandan mempertanyakan pakaian saya yang berhijab. Saat itu wajah suami tegang sekali karena sebenarnya saat itu belum ada yang mengajukan nikah istrinya berhijab. Namun kami memang nekat. Alhamdulillah doa kami didengar meskipun hampir semua orang keheranan dengan penampilan saya yang menggunakan seragam ala-ala IKKT (Ikatan Kesejahteraan Keluarga TNI) tapi panjang dan berhijab, pake kaos kaki pula.
"Ananda siap dengan resiko istri prajurit?" Tanya pak komandan di meja pertama. Ya tentu saja siap. Kalau belum siap tidak mungkin saya jauh-jauh dari Bandung sampai harus ijin segala kalau tidak siap.
Semua prosedur nikah kantor kami lalui. Saat menghadap wadan grup A Paspampres muka suami benar-benar pucat saat beliau bertanya pada saya,"berapa gaji suamimu? Tahu kamu?" Tanyanya. Saya mengangguk mantap.
"Cukup itu? Cukup? Buat kamu kuliah di Bandung dan suamimu di sini? Cukup?" Tanyanya lagi.
"Insya Allah cukup, Pak," jawab saya. Tak dinyana gebrakan meja yang cukup keras sebagai sahutannya.
"Jangan main kasar-kasaran, dihitung pake logika, pake matematika! Cukup itu?" Sentaknya.
"Cukup, Pak," jawab saya grogi. Suami sudah pucat pasi dan kaku di tempatnya.
Nah, pas mengahadap Dan grup A Paspampres lagi-lagi pertanyaan semacam itu mampir dan ada.
"Buat apa kamu kuliah-kuliah segala? Toh nanti anakmu yang ditanya bukan ibunya gelarnya apa tapi bapakmu pangkatnya apa. Gelar sarjana atau doktor sekalipun gak akan ditanya orang ke anakmu nanti," begitu katanya. Pernyataan yang tidak memerlukan jawaban kami sikapi dengan diam. Ya, saat itu saya memang masih kuliah semester 5 saat menikah. Syukurnya berkeluarga malah menjadi booster luar biasa agar saya bisa rampung kuliah lebih cepat. Memang sih sampai sekarang anak-anak tidak ada yang bertanya apa gelar pendidikan ibumu, tapi apakah itu penting?
Tak lupa kalau sedang mengajukan nikah kantor itu teman-temannya pasti ada yang bercandain.
"Lho yang dibawa kok yang ini? Padahal yang kamu ajak jalan waktu itukan yang rambutnya panjang?" Asli ini candaan gak penting tapi sempat bikin mas suami ketar-ketir, pasalnya ada calon istri temannya yang langsung membatalkan pernikahan gara-gara ini, kebanyakan sih istrinya jadi ngambek, kalo saya karena udah sempat 'penataran' sama kakak sepupu yang suaminya tentara juga jadi udah gak kaget.
"Jadi istri prajurit itu susah, bukan senang, kamu harus siap dijadikan nomer kesekian oleh suamimu. Istri itu nomer kesekian, sedangkan tugas itu yang utama," masih terngiang pesan dan grup A Paspampres saat itu. Dalam hati menyangkal, yaelah Pak, yang susah itu bukan cuma istri prajurit kali, semua orang pasti merasakan susah dan senang, merasakan manis dan pahit, karena itulah hidup. Tuhan gilir-gilirkan rasa senang dan susah secara bergantian, supaya hidup kita gak anyep. Supaya kita bisa menghargai apa yang kita punya, karena biasanya kita baru bisa bersyukur kalau apa yang di tangan kita sudah tidak ada.
#ODOPOKT4

5 komentar:

  1. Kalau aku, nggak siap ditinggal suami tugas bu... Hehehhehe...

    BalasHapus
  2. Waaah mbaa...kenapa calon istri anakbuahnya diperlakukan kaya tentara juga mbaa?

    Emang tahun 1998 belumpernah ada istri paspamres yang pake jilbab mba?

    BalasHapus
  3. Waduh, pake gebrak meja..pertanyaannya bikin sebel pula

    BalasHapus